Sudah setahun lebih berlalu, tapi kok…
Ini adalah peringatan sebelum kamu lanjut baca tulisan ini, plis kalau kamu nggak suka baca tulisan yang menye-menye mending nggak usah dilanjut. Saya akan bercerita dari hati ke hati nih.
Artjog, event besar dan digelar secara periodik di Yogyakarta, tiap kali mendengar nama hajat besar itu dada langsung bergetar. Rasanya jantung ini berdetak lebih kencang. Apalagi menonton sebuah video yang mengulas Artjog tahun ini.
Bahkan saat menulis ini pun, telapak tangan saya mendadak anyep. Perut mendadak mules. Ada berbagai perasaan yang bercampur baur, diaduk oleh kenangan setahun yang lalu. Kagum, penasaran, dan penuh harap seseorang yang saya kenal sedang tertangkap kamera youtuber. Duh, kalimat sebelumnya, bagian paling akhir kok rasanya mustahil ya. Ehe.
Tahun lalu adalah kali pertama saya dateng ke Artjog, acara tersebut berlokasi di JMN (Jogja National Museum). Untuk masuk ke ruang pamer, per orang harus membayar 50ribu. Kala itu saya masih berstatus sebagai karyawan di Kulina cabang Yogyakarta.
Saya masih ingat betul (ya iyalah, kalau lupa namanya amnesia), kesana bersama seseorang yang tak perlu disebut namanya. Ohiya, kamu sudah pernah datang ke Artjog belum? Oh, belum ya. Tenang, saya masih simpan foto dari beberapa instalasi seni pada Artjog tahun 2018. Saya juga menyertakan penjelasan dari seniman mengenai karya agungnya. Biar kita sama-sama paham tentang makna dari sebuah karya seni.
Tahun lalu banyak banget karya seni yang di pamerkan dalam Artjog. Tiga lantai JMN (Jogja National Museum) digunakan sebagai ruang pamer. Belum lagi di area outdoor, ada sebuah panggung untuk pertunjukan seni. Ada agenda pentas dan diisi oleh seniman yang berbeda tiap harinya.
Saya (berusaha) menikmati tiap karya seni yang dipamerkan. Saya lebih suka membaca deskripsi karena nggak jarang seniman menjelaskan karya seninya dengan sederhana namun punya arti yang mendalam. Ada pula penjelasan seniman yang membuat saya seolah sedang membaca syair. Sebagian besar seniman terinpirasi dari kehidupan sehari-hari, nggak heran kalau karya-karya seninya ngena banget di hati si penikmat seni.
Iya, seperti ketika saya mendengar atau menyaksikan cuplikan video tentang Artjog. Auto deg-degan gitu. Ya gimana nggak gelisah, lha wong saya kesana bersama dia yang kala itu menjadi orang terkasih. Dia suka sekali datang ke acara seperti ini. Anaknya juga nyeni sih. Anak arsitek, doyan gambar, manis, dan cute. Ouch… mungkin saya lagi kangen. Atau jangan-jangan diri saya belum mampu menggeser posisinya di ruang hati saya.
Nggak disangka, ternyata kencan di Artjog adalah detik-detik terakhir sebelum hubungan cinta kami benar-benar kandas. Nyesek kalau ingat saat itu, dia mutusin saya secara sepihak. Sementara kami sedang jauh karena saat itu saya sedang mudik ke Blitar, kampung halaman saya.
Eh, nggak tahunya dia sudah punya gandengan baru dan yang bikin makin nyesek adalah jedanya sebentar banget. Ya sekitar sehari atau dua hari gitu. Sudah berupaya untuk mempertahankan tapi kok hasilnya nihil, malah dia makin ilfil. Ehe.
Saya juga sih yang salah. Saya butuh banyak instropeksi kala itu. Kalau pas teringat masa-masa itu, masih ada rasa sesal yang nyempil. “Tau gitu, saya nggak kekanakan. Segera sadar kalau saya terlalu egois. Mensyukuri keadaan. Berani ambil resiko.” saya menyalahkan diri sendiri berulang-ulang.
Nyatanya semua sudah terlanjur. Waktu berputar maju, tidak peduli dengan penyesalan saya yang bebal dan enggan hilang. Andai ada kesempatan darinya untuk memperbaiki. Tapi kok mustahil…
Lagian dia sekarang sudah bahagia dengan pasangannya. Kami telah melanjutkan hidup masing-masing. Namun dalam diam saya masih merindu. Pertemuan kami (yang tak sengaja di Antology) di bulan September 2018 lalu, sebelum saya hengkang dari Yogyakarta terasa masih kurang.
Andai Tuhan bisa menyampaikan pesan singkat saya lewat mimpi, maka hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah seribu maaf. Maaf karena saya pernah menyakiti dan membuatnya menangis. Maaf karena sempat mengutuk dan mengkritik segala tingkah lakunya hanya untuk menghibur diri sendiri. Supaya saya bisa melupakannya lebih mudah. Nyatanya saya makin kesusahan mencoret namanya di dinding hati saya.
Seburuk apapun perlakuannya pada saya, namun dia sempat mengisi hari-hari saya dengan kebahagiaan. Tanpa ada perannya di hidup saya, mungkin cerita hari ini akan jauh jauh jauh berbeda. Malam ini saya berusaha berdamai dengan ingatan yang menyangkut tentangnya.
Kadang saya tersiksa sendiri, melihat siapa dan apapun di sekitar sering saya kaitkan dengan segala hal tentang dia. Capek tau…
Semoga tidurnya malam ini nyenyak dan dirinya semakin tahan banting dalam menghadapi tiap tantangan yang hadir di sela harinya yang padat. Sehat terus ya, harus itu. Sekarang kan dia rajin banget olahraga. Mudah-mudahan ketika bangun tidur di esok hari, saya sudah merasa biasa-biasa saja mendengar atau menonton tentang Artjog karena pelan tapi pasti saya melepaskan segala tentangnya.
Usaha untuk berdamai dengan masa lalu.
Siapa tuh yg nyempil ? wkwkwkw
Yang mana sih? Duh..
Wekssss dasar. Cepet tdr mbak, terbawa suasana ko wkwkw