Close
Cerita Sebelum Tidur
Landscape di Tebing Watu Mabur. Dokumen pribadi Rizky Almira

Cerita Sebelum Tidur

Cerita dikit ya, biar bisa tidur nyenyak…

Bukan mau curhat sih, bukan. Ingin bercerita dikit tentang Hujan dan Banyu. Begini ceritanya…

“Akhirnya, kamu menjejakkan kakimu lagi di sini.” Sambut Hujan pada Banyu.

“Woyy! Apa kabar? Ya ampun, nampak makin sukses aja sekarang!” Banyu merangkul Hujan.

“Keretamu datang jam berapa tadi? Nggak nungguin aku lama kan?” tanya Hujan.

“Lama banget, ada kali kalo sejam yang lalu.”

“Bokis! Jadwal kereta sampe aja setengah jam yang lalu.”

“Hahahaha” mereka pun bergegas menuju parkir.

“Tau nggak, hidupku kemarin ambyarr…” keluh Banyu.

“Ambyarr kenapa?” tanggap Hujan.

“Ya berantakan banget. Aku keluar masuk club malam, jadi doyan beer, dekat sana sini. I feel this is the worst in my life. Uang yang aku kumpulin terpaksa kepake buat sesuatu yang sebenarnya nggak penting banget.”

“Oh, really? What about your relationship?” Tanya Hujan.

I’m trying to be okay. Makanya aku sempat dekat sana sini, aku bosan galau terus.”

“Bukannya kamu dekat sama….”

“Siapa?”

“Itu yang ketemu kamu di Yogyakarta, bukannya kalian sedang merencanakan buat pertemuan keluarga di rumahmu ya?”

“Oh itu… Ya gitu deh…” Banyu menancapkan kabel audio di mobil ke handphonenya.

Denganmu, tenang
Tak terpikir dunia ini
Karenamu, tenang
Semua khayal seakan kenyataan

Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi telah menghanyutkanku
Mimpiku sempurna
Tak seperti orang biasa

Karenamu, tenang
Semua khayal seakan kenyataan

Berlari-lari di taman mimpiku
Imajinasi tak menghanyutkanku
Mimpiku sempurna
Tak seperti orang biasa

Aku berbeda
Aku berbeda

Lagu Fourtwnty menyela obrolan antara Hujan dan Banyu. Mobil yang mereka kendarai berhenti di depan sebuah warung soto daging.

“Astaga, kamu tau aja aku merindukan soto ini.” Kata Banyu sumringah.

“Ya dong! Aku juga lama banget nggak kesini.”

Warung soto daging yang cukup ramai, walau lokasinya di ujung gang dan lahan parkir yang terbatas. Soto di sini cukup unik, karena masih dimasak secara tradisional. Selain masih menggunakan tungku kayu bakar, soto masih pakai kuali yang dibuat dari lempung.

Ini adalah warung soto daging langganan Hujan. Kuah soto yang berwarna kuning itu mengguyur nasi yang diselimuti irisan iso dan babat dan toge. Terakhir disiram dengan kecap manis, tidak lupa ditabur daun kucai dan bawang goreng.

Banyu lahap sekali. Hujan menyantap soto sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut.

“Ohya, abis ini ikut aku belanja ya. Sekalian beli oleh-oleh.” Kata Hujan.

“Bereeees.”

“Tumben lagumu kayak gini, nggak kamu banget deh.” Ejek Hujan.

“Hahaha… Masak sih?”

“Iya, nggak kamu banget. Mentang-mentang sekarang jadi anak dugem ya?”

“Okay… Okay… Aku ganti playlist aja deh kalo gitu.”

***

“Astaga… Ini kan tempat kita kencan pertama kali? Hahahaha.” celetuk Banyu.

“Ya terus kenapa? Baper?”

“Ciee… Ya enggak lah, cuma lagi nostalgia aja.”

“Iya ya, kapan sih terakhir kali kesini?”

“Kayaknya tahun 2014 gitu deh.”

“Lama juga ya..”

“Eh, aku mau bikin stories nih. Sini nampang dulu!”

Banyu mendekatkan handphone-nya ke hadapan Hujan. Ia tersipu malu kemudian menggoda Banyu sekedar lucu-lucuan.

“Percuma bikin stories di instagram kalau kamu nggak berani post.”

“Hahahaha… Aku belum berani.”

Seharian Hujan mengajak Banyu keliling kota dan mencicipi berbagai kuliner yang ada. Malamnya, Banyu kegirangan karena bisa makan malam dengan Hujan di kaki lima langganan keluarga Hujan.

Kaki lima tersebut menyediakan menu ayam lodho yang merupakan makanan khas kampung halaman Hujan. Ayam lodho ini berkuah dan sekilas mirip ayam betutu dan ayam ungkep tapi cita rasanya cenderung gurih. Makanan pendampingnya adalah nasi gurih dan urap, tidak lupa dengan sambal.

“Aku dulu juga kesini sama yang pakai kaos ‘Indonesia Traveler’.” Kata Banyu sambil melahap suwiran ayam di tangannya.

Hujan tersenyum tipis.

“Masih aku pake lho kaos itu, ya meski rada malu pakainya. Berasa kepedean kalau pake kaos itu, abisnya bisa bikin terlihat sok suka jalan-jalan banget.”

“Masak sih? Hahahaha. Makasih lho kaosnya masih dipakai.”

***

Banyu dan Hujan menyusuri jalan setapak menuju rumah.

“Asri ya di sini…”

“Bener banget, makanya aku seneng banget sepedaan di sini.” tambah Hujan.

“Lama ya kita nggak jalan-jalan bareng.”

“Lamaaaaa banget. Cerita aku dan kamu juga banyak likunya. Tau nggak, aku sempat kesel sama kamu. Kecewa malah.”

“Ohya?”

“Iya.. dulu kamu nggak suka aku nglakuin A, B, C, eh nyatanya kamu sekarang nglakuin A, B, C. Aku dekat sama Terbit, kamu marah semarah-marahnya. Pakai ceramah dan bawa-bawa Tuhan lagi. Eh, nggak tahunya ternyata kamu masih melakukan sesuatu ysng kamu sering ingetin ke aku.”

“Anjirrrrr… Nggak usah diterusin sih. Sialan! Malu tau!” Ronta Banyu.

“Udah gitu, pas galau sok sok an mabuk di bar. Yaelah, sama aku aja minum greentea latte aja pusing. Sok sok an minum vodka. Paling menggelikan lagi, kamu kepikiran mau bunuh diri. Ya kali, nasi masih enak eh malah pengin mati muda! Hahahaha. Aku sama Zul kalau ingat masa itu rasanya pengen ketawa tau nggak. Gemes aja sama kamu.”

“Anjirrrrrr…”

“Kami hafal aja sama tabiatmu yang kadang sok sok an tobat kalau lagi ada masalah, nyari kami pas sedih, lalu hilang pas senang.”

“Njirrr… Stop… Stop..”

“Ngeselin tauk! Apalagi sekarang ini, kamu masih melakukannya. Aku harus banyak-banyak istighfar.”

“Gimana ya, aku nyaman sih sama dia. Dia masih cukup muda, tapi aku kagum dengan pemikirannya yang dewasa. Lebih dewasa dari pasanganku sebelumnya.”

“Terus?”

“Ya, dia tipe yang open minded banget. Kami saling blak-blakan apapun.

“Oh, really? Termasuk tentang kita?”

“Kecuali itu, aku nggak berani sih cerita soal kita.”

“Oh, okay… Itu mah namanya belum bisa blak-blakan sih.”

“Hehehe..”

***

“Si itu yang katanya deket sama kamu kok rajin amat telepon atau video call sama kamu.”

“Hehehe.. kenapa emang?”

“Kalian resmi pacaran? Jawab jujur!” Desak Hujan pada Banyu.

“Janji ya kamu nggak bakal marah kalau aku cerita.” Banyu mengacungkan jari kelingkingnya.

“Iyaaaa….”

“Janji dulu dan jangan bilang Zul.”

“Iyaa janji.”

“Iya, kami pacaran.”

“Hah? Serius, sejak kapan? Perasaan kalian masih baru kenal.”

Banyu menceritakan bagaimana ia bertemu Langit, orang yang kini dekat dengannya. Ia bercerita dengan sangat antusias.

“Sebenarnya aku nggak masalah kamu dekat dengan siapapun, cuma aku rada malas aja kalau udah senang dengan yang baru tuh kayak kacang lupa sama kulit, ingat aku atau Zul pas sedih dan galau doang.”

“Maaaaaaf….”

***

Hujan memutar playlist kesukaannya, membuka media sosial.

“Maaf, kali ini aku harus mute stories and posts kamu.” Kata Hujan dalam hati.

Matanya pelan-pelan terpejam. Pikirannya terbang dan hinggap di ingatan beberapa hari lalu. Ia agak terkejut membaca pesan dari Banyu.

“Tiba-tiba Langit curiga kenapa kita bisa dekaaaat banget.”

“Terus?”

“Kita sahabatan kan, Hujan?”

“Lhah, menurut ngana?”

“Maaf ya, aku masih nggak berani buat bilang ke Langit kalau kamu bukan sekadar sahabat. Aku nggak berani cerita kalau kamu adalah mantan aku. Jadi tolong, bantu aku unuk menyembunyikannya dari Langit.”

Mata Hujan tiba-tiba terbuka. Ia bangun, mengatur nafas dan melangkahkan kakinya untuk menghadap jendela kamarnya.

Air dari langit tumpah perlahan membasahi tanah yang kering. Hujan membuka jendela lebar-lebar. Aroma tanah dan rumput basah memeluknya dengan erat.

Bila cerita lama terulang, aku siap.

Bila aku harus kehilangan karena ia lelap dengan kesenangan dunia, aku pun siap.

 

Tulisan ini untuk memenuhi tantangan #BloggerPerempuanBlitar
Baca juga:
- Tulisan Andhira Arum
- Tulisan Verwati Iriani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *