Close
Sesal Nggak Pernah Tepat Waktu
Sesal Tak Pernah Tepat Waktu

Sesal Nggak Pernah Tepat Waktu

Sesampainya di Surabaya nanti pun saya punya bayangan ingin ina inu. Nyatanya justru melenceng jauh dari rencana. Meskipun enggak semuanya. 

Saya melangkahkan kaki kiri dan meninggalkan bus yang saya tumpangi dari Malang menuju surau yang ada di pojok terminal. Rencananya saya akan dijemput teman di sini.

“Bagaimana kalau kamu jemput di stasiun Gubeng Lama aja? Aku naik bus kota aja, biar kamu nggak kejauhan jemputnya.” tiba-tiba saya mengubah rencana.

“Ya sudah, kalau gitu aku jemput kamu setelah potong dan antar titipan Mamaku.” Aan sepakat.

Kaki saya melangkah santai melewati lorong yang dipadati warung makanan dan minuman. Lorong yang sering saya lewati 4-5 tahun yang lalu. Kernet agresif sekali menanyakan kemana saya akan pergi.

“Naik bus yang paling ujung ya, dek.” ujar salah satunya.

Saya menyandarkan badan dengan perasaan rada geli pada bangku paling depan sebuah bus kota –yang kondisinya sudah enggak terlalu terawat. Tetapi cukup menolong bagi yang menghemat uang jalan dari Purabaya ke Kota Surabaya, karena pasti selisih tarifnya jauh bila dibandingkan dengan tarif ojek.

Sebenarnya ingin naik Going Merry –si motor kesayangan– ke Surabaya, tetapi saya harus buang jauh keinginan itu gara-gara kejadian nahas menabrak kerucut jalan alias traffic cone di daerah Songgoriti, Batu. Akibatnya sekitar lutut pun memar dan nyerinya enggak keruan. Jadi saya pilih amannya saja, naik bus dari Arjosari ke Surabaya.

Sesampainya di Surabaya nanti pun saya punya bayangan ingin ina inu. Nyatanya justru melenceng jauh dari rencana. Meskipun enggak semuanya.

Hari kedua, teman yang saya tumpangi ada jadwal buat me time. Tadinya saya tidak ada rencana mau ngapain atau kemana. Teman saya meminjami motor supaya saya bisa menyusul ke lokasi untuk buka puasa bareng nanti. Baiklah, saya berusaha mengalir saja seperti air di Kali Code. Saya tergerak buat main sendiri.

Saya mematikan mesin motor di depan sebuah rumah dengan pagar berwarna biru muda.

“Assalamualaikum…”

Salam yang saya teriakkan beberapa kali tak bersambut meski pintu rumah sedang terbuka. Saya menyerah. Saya beranjak setelah mengirim sebuah pesan singkat pada pemilik rumah kalau sempat mampir tetapi enggak ada tanda-tanda kehidupan dari penghuninya.

Jauh hari memang ada keinginan buat menghabiskan satu atau dua malam di Masjid Ampel atau lainnya. Saya sadar sih kayaknya keinginan ini hanya mengendap di angan. Tetapi siang ini takdir membawa saya buat singgah ke Ceng Hoo –meski cuma numpang solat bentar doang. Ceng Hoo adalah salah satu masjid unik di Surabaya karena bernuansa Tionghoa. Suasananya teduh, menenteramkan hati siapapun yang singgah untuk beribadah di sini.

Bagaimana enggak nyaman? Saat duduk di beranda, angin semilir menerpa wajah saya di tengah panasnya Surabaya. Suara gemericik air di kolam ikannya itu bikin pikiran tenang. Yah, meskipun bangunannya enggak besar-besar amat tetapi saya betah kalau berlama-lama di sini. Buktinya banyak kok musafir yang sedang istirahat santai di sepanjang beranda.

Takdir pula yang akhirnya membawa saya bertemu dengan Nana. Setelah sekian lama tidak bertemu dan sempat kesal pada malam sebelumnya. Rencananya selama di Surabaya saya akan dia tampung. Tetapi kadang Tuhan membelokkan perjalanan kita dulu –dan tidak sesuai dengan bayangan– sebelum akhirnya sampai pada tujuan.

Saya melihat layar handphone ada belasan panggilan tak terjawab dan 1 pesan singkat. Saya dan Nana pun berpisah dan sepakat akan bertemu kembali malam nanti. Saya melaju ke arah Pasar Pucang. Kembali berhenti di depan rumah dengan pagar cat warna biru. Dada berdebar ketika ada tanda-tanda seseorang keluar dari rumah untuk menyambut saya setelah meneriakkan salam.

“Mau mencari siapa?” Seorang Ibu dengan rupa yang asing membukakan pintu pagar. Saya menelan ludah. Khawatir kalau penghuni rumah itu sudah ganti.

“Mau ketemu Pak Cokro” Jawab saya terbata.

“Dari mana, Mbak?”

“Dari Blitar.”

“Monggo…masuk dulu, sampean tunggu aja di ruang tamu ya.”

Saya menurutinya dan duduk manis di sofa setelah memasukkan motor di halaman. Sekitar 4 tahun lalu saya juga duduk di sofa ini setelah wisuda dan pamit pulang ke desa. Rumah ini tidak banyak berubah. Saya menatap lekat pintu kamar saya yang sempat saya tinggali selama 2 tahun lebih. Lamunan saya buyar setelah menyadari sosok yang saya kenal muncul dari balik pintu.

Perawakannya tambun seperti dulu. Rambutnya tetap gondrong dan dikuncir seadanya dengan helai rambut putih yang semakin banyak. Kumis tebalnya masih setia nangkring di bawah hidung mancungnya. Namun ada raut yang baru kali ini saya lihat. Seperti tanaman yang lupa disiram oleh pemiliknya. Begitu layu.

“Pak Cokro, bagaimana kabarnya?” tanya saya memecahkan keheningan.

“Ya, begini aja. Tetap buta.”

“Bapak sehat kan?” saya terus berusaha mencairkan suasana.

“Alhamdulillah sehat. Kamu gimana? Baik-baik aja kan?”

“Alhamdulillah sehat dan baik-baik aja, Pak.” jawab saya sok yakin.

“Lho, Pak. Tadi itu siapa?”

“Oh, itu mbaknya kerja di sini. Ohya, kamu belum tahu ya ceritanya bagaimana setelah kamu lulus dan pulang?”

Saya pun hanyut dalam derasnya cerita yang mengalir dari bibir Pak Cokro.

“Kamu kan tahu perjalanan hidupku itu bagaimana ceritanya.” ujarnya.

Ya, saya tahu persis sebagian cerita hidup Pak Cokro saat masih tinggal di sana. Bukan sekali ini Pak Cokro menelan kekecewaan karena ditinggalkan. Kehidupan rumah tangga sebelumnya kandas. Kemudian disusul oleh kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Hidupnya pun sebatang kara. Lalu dia ditemani oleh asisten rumah tangga yang merangkap sebagai manajernya –untuk mengatur jadwal pementasannya, maklum profesi Pak Cokro tidak jauh-jauh dari panggung seni. Sebut saja asistennya itu Ibu Tini.

Hubungan antara Pak Cokro dan Ibu Tini ini semakin dekat seiring waktu. Banyak orang yang mengira keduanya adalah pasangan suami istri –termasuk saya sendiri. Namanya juga hidup ya, tidak semulus pantat bayi. Hampir setiap hari ada saja drama pada rumah tangga Ibu Tini. Saya hanya bisa menghela nafas dalam-dalam ketika mendengar curahan hati Ibu Tini dan Pak Cokro. Puncaknya Ibu Tini mengambil keputusan untuk menggugat cerai suaminya.

Keputusan Ibu Tini tidak serta merta membawa keadaan ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya. Mantan suami Ibu Tini semakin memendam kebencian pada Ibu Tini dan Pak Cokro. Bagaimanapun Pak Cokro tetap kena imbasnya karena dituduh ini itu. Apapun dilakukan oleh mantan suami Ibu Tini, supaya Pak Cokro semakin menderita karena dianggap telah merusak keutuhan rumah tangganya.

Setelah saya lulus kuliah, beberapa tahun berlalu dan akhirnya saya bisa bertatap muka lagi dengan Pak Cokro. Ternyata ada banyak  cerita yang belum saya ketahui. Seperti Pak Cokro yang menikahi Ibu Tini setelah proses cerainya dikabulkan. Lalu selang 2 tahun berikutnya Ibu Tini menggugat cerai Pak Cokro dan diam-diam mendua dengan teman Pak Cokro sendiri. Sungguh getir kehidupan asmara Pak Cokro.

“Aku kira Ibu Tini akan menemaniku hingga seterusnya. Ternyata aku ditinggalkan dan sempat diperlakukan semena-mena.”

“Rasanya sakit, Ki. Aku cuma bisa teriak-teriak sendiri. Nangis sendiri. Mau cerita pada siapa? Cerita ke Om malah dikapok-kapokin.”

Pak Cokro menghadapi kesedihannya sendiri sampai jatuh sakit. Nahasnya keluarga besar Pak Cokro sudah tidak mau peduli dengannya karena menelan hasutan mantan suami Ibu Tini. Tuhan masih mau berbaik hati, Wanto –salah satu kerabat temannya– bersedia tinggal menemani untuk sekedar membantu menyiapkan makan dan berbenah isi rumah. Si Wanto juga yang terus menyemangati Pak Cokro untuk bangkit kembali.

“Si Wanto baik banget, Ki. Eh, lha ndilalah Wanto meninggal mendadak karena sakit jantung. Sedih banget, Ki.”

“Keluarganya kalau kesini dan ingat pasti nangis. Akhirnya kita malah jadi kayak keluarga. Wanto itu sakit dipendam sendiri, enggak bilang sama keluarganya. Makanya kamu kalau ada apa-apa jangan dipendam. Kalau misalnya sakit atau apa jangan lupa kasih tahu orang tua. Apalagi kalau punya pikiran. Karena pikiran itu sumber penyakit.” Pak Cokro sambil menunjukkan luka-luka di kakinya. Kini ia sedang dalam proses pemulihan. Untuk hati dan penyakit diabetes yang dideritanya.

“Kuncinya cuma sabar dan mikirnya jangan terlalu dalam. Lek mikir ojo kejeron (kalau mikir jangan terlalu dalam), dilepasne ae biar nggak jadi penyakit.”

Saya tersenyum getir. Di satu sisi sedih mendengar cerita Pak Cokro. Di sisi lain, saya merasa malu. Masalah yang sedang saya hadapi saat ini mungkin enggak ada apa-apanya dengan romantika kehidupan Pak Cokro.

“Saya masih nggak nyangka kamu main kesini lagi. Saya jadi merasa enggak sendirian. Karena masih ada teman yang sudah seperti keluarga. Tadi saya mencoba telepon kamu berkali-kali tapi enggak dijawab. Saya sebenarnya agak lupa sama kamu, makanya daritadi berusaha mengingat-ingat Kiki siapa ya. Ingatnya saat kamu menyebut Kiki Blitar. Hahaha”

Sepanjang jalan saya hanya melamun, berusaha meresapi semuanya. Manusia enggak bisa mengendalikan semuanya sesuai dengan kemauan. Hal sekecil apapun itu. Sah saja membayangkan yang indah-indah dengan hidup kedepannya nanti, tetapi kenyataan enggak selalu sejalan dengan imajinasi muluk tadi. Saya yakin, kalimat barusan terdengar klise atau lagu lama. Karena pasti kamu sering membacanya di kutipan-kutipan yang bertebaran di sosial media. 😀

Peristiwa-peristiwa di masa lalu mungkin pernah membuat saya atau Pak Cokro atau kamu terperosok pada lubang yang sama. Tetapi saya kembali berpikir, itu bukan melulu salah Tuhan. Sayanya saja yang ndableg dan tidak bisa belajar dari kesalahan pada peristiwa sebelumnya. Bodohnya, orang-orang terkasih yang ada di sekitar sudah memberi rambu tetapi tetap saja diterobos. Namanya juga manusia, lampu merah di persimpangan aja masih diterobos kalau sekiranya ada peluang buat nyeberang. Tetapi kalau ada apa-apa –misalnya, terperosok ke lubang lumpur yang sama–, ujung-ujungnya balik dan ngadu pada orang-orang yang pernah mengingatkan.

Untung mereka yang pernah saya cuekin nasihatnya enggak pergi meninggalkan saya atau kamu atau kita. Mereka adalah yang sebenarnya sayang banget sama kita. Enggak cuma sekedar mengiyakan dan mendukung semua polah kita. Sayangnya, saya masih suka keras kepala dan nasihat-nasihat baik itu mental mentul kayak bola bekel dilempar ke lantai.

 

N.B: Terima kasih untuk kalian yang tetap mau merangkul dan tidak meninggalkan saya, meskipun sudah tahu baik-buruknya saya itu kayak gimana. Untuk kalian yang tak perlu saya sebut satu per satu, karena saya enggak mau bikin makin geer setelah saya sebutin. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *