Siapapun boleh membaca buku dengan cuma-cuma.
“Guru saya pernah bilang kalau orang cerdas itu akan membangun perpustakaan pribadi di rumahnya. Saya coba bikin perpustakaan di rumah, tapi kok nggak mendapatkan rasa gayeng ya?” kata Si Gondrong.
Si Gondrong, teman baru saya, bercerita tentang sepak terjangnya dengan Ruang Baca yang merupakan salah satu perpustakaan jalanan di Blitar. Ia dengan penuh semangat menceritakan banyak hal, mulai dari alasannya bikin Ruang Baca, suka dukanya, dan gerakan-gerakan apa yang pernah ia lakukan bersama kawan-kawannya.
Kenapa saya di sini menyebutnya Si Gondrong? Ya karena memang saya ingin menghargai privasinya dan seperti yang sudah saya ceritakan dalam tulisan sebelumnya, dia enggan disebut baik nama panggilan maupun nama aslinya dalam tulisan saya. Baik, itulah prinsipnya yang tak bisa diganggu gugat.
Lihat postingan ini di Instagram
“Kenapa kami memberi nama Ruang Baca? Alasannya Ruang Baca ini bukan sekadar wadah buat teman-teman membaca buku saja. Saya bisa memanfaatkan relasi untuk menyediakan wadah bagi teman-teman yang membutuhkan. Misalnya, ada teman yang ingin belajar tentang bagaimana bikin video, saya akan hubungi relasi yang jago bikin video untuk berbagi ilmu dengan mereka. Terus kayak sablon cukil, selama saya mampu maka akan saya fasilitasi mereka untuk belajar.” jelas Si Gondrong.
Ruang Baca ini pertama kali melapak pada 29 Juli 2018, itu artinya mereka sudah genap setahun lebih beberapa bulan aktif menjadi pegiat literasi. Si Gondrong menceritakan tentang pengalaman pertamanya menggelar tikar dan membawa sekitar 40 buku koleksinya bersama –kalau tidak salah– 2 orang kawannya di trotoar Jalan Kalimantan, Kota Blitar, tepatnya ada di samping lapangan belakang SMAN 1 Kota Blitar.
“Lama-lama ada saja donatur yang menyumbang buku-buku bahkan uang. Malah ada juga yang support kami dengan mengirim makanan.” ujarnya.
Ruang Baca Blitar ini rajin membuka lapak di city walk Makam Bung Karno setiap Jumat malam dan Sabtu malam –kalau enggak salah. Ada saja simpatisan yang kirim makanan ringan termasuk Andhira, teman saya.
“Aku heran lho, kok bisa kamu kenal dengan beberapa temanku. Dunia memang sempit banget ya? Hahaha.” kata saya.
“Bukan dunianya yang sempit, Mbak, tetapi kamulah yang mempersempit dunia.” tanggapnya.
Hahaha. Bisa saja deh Si Gondrong. Ruang Baca ini memungkinkan kamu untuk meminjam bukunya dan dibawa pulang. Tetapi ada syarat dan ketentuannya. Tiap kali hendak meminjam, kamu diwajibkan untuk memotret buku yang akan dipinjam berserta kartu identitas.
“Gitu ada juga yang nggak ngembaliin bukunya.” kata Si Gondrong.
“Oh ya? Banyak kah?”
“Cukup banyak. Tapi kami nggak pernah mencarinya.”
“Kenapa?”
“Ya resiko itu sudah saya pikirkan sejak awal berdirinya Ruang Baca. Lagian itu bukan menjadi masalah yang besar. Bagi kami, buku-buku itu hanya pindah ke pemilik yang baru.”
“Ada ketentuan khusus nggak sih untuk buku-buku yang ingin disumbangkan?”
“Kami menerima semua buku dengan genre apapun, buku anak-anak, novel, sastra, buku pelajaran, buku mewarnai. Kecuali buku-buku bajakan ya. Tapi kami masih punya beberapa buku bajakan dan tetap saya bawa apabila sedang melapak. Cuma ya gitu, saya simpan dalam kotak khusus tidak digelar di atas tikar. Baru kalau ada yang menanyakan, saya akan buka kotak penyimpanan dan meminjamkannya.”
Di Blitar, perpustakaan jalanan nggak hanya Ruang Baca. Ada beberapa perpustakaan jalanan lain yang aktif hingga sekarang dan punya ‘daerah kekuasaan’ sendiri. Ada Walkers Melek yang melapak di Taman Idaman Hati Wlingi, Kabupaten Blitar. Gebang Pustaka, Lapak Baca Bersama, Taman Baca Ilalang, Plant Zone Indonesia, dan lain-lain. Banyak kan?
Mereka tergabung dalam Aliansi Pustaka Jalanan di Blitar. Saya sebutkan nih daerah mana saja yang telah mereka jajah, Makam Bung Karno Kota Blitar, Taman Sukarni di Garum, Taman Idaman Hati di Wlingi, Kademangan, dan Lodoyo. Di kecamatan saya belum ada, semoga saya bisa mendatangkan mereka untuk membuka lapak di Gandusari. Amin.
“Kawan-kawan di Aliansi Pustaka Jalanan Blitar ini dari berbagai macam latar belakang, Mbak. Banyakan sih anak pendaki, jadi saya senang kalau ngelapak bareng mereka. Nggak perlu khawatir soal makan karena mereka pasti bawa nesting –perlengkapan memasak ala campers– buat sekadar menyeduh kopi.”
Si Gondrong juga sempat menceritakan tentang perpustakaan jalanan pertama di Blitar. Perpustakaan Pijar, empunya orang asli Blitar yang domisilinya di Ponggok. Datang jauh-jauh ke kota setiap Minggu pagi di Kebun Raya Kota Blitar atau yang biasa disebut Bon Rojo. Pijar ini sudah berjalan sekitar 3 tahunan. Sayangnya mandek lantaran empunya tiba di titik jenuh dan memutuskan untuk vakum sejenak. Pijar sepi peminat, alasan para penikmat bukunya adalah koleksi buku-buku yang tak diperbaharui.
Obrolan dengan Si Gondrong ini tentu membuka pikiran saya bahwa di Blitar ini ternyata banyak orang gila. Kenapa saya sebut gila? Karena begitu totalitas dalam melakukan sesuatu, bergerak terus pelan tapi pasti dan tak hanya koar-koar di media sosial. Hal ini nggak berlaku untuk teman-teman pegiat literasi saja, tetapi juga pegiat di bidang lain seperti pegiat lingkungan dan seni budaya. Sekali lagi, salut untuk kalian!
Ya ampuun aku sui banget gak gabung mreneee ????????
Iyoo, terakhir kapan? Wqwq