Close
Merayakan Waisak di Borobudur
pelepasan 1000 lampion di borobudur. foto oleh penulis

Merayakan Waisak di Borobudur

Mengikuti upacara perayaan Waisak di Borobudur bonus pesta lampion.

Enggak tahu sejak kapan, saya excited kalau umat agama lain sedang merayakan hari besarnya. Mulai dari Natal sampai Waisak. Rasanya hati ini ikut senang tanpa sebab yang jelas. Hingga pada suatu hari saya punya kesempatan buat mengikuti upacara perasaan Hari Trisuci Waisak di Muntilan, Jawa Tengah. 🙂

Sebenarnya pengalaman ini sudah cukup lama, sekitar bulan Mei tahun 2016. Tapi saya gatal banget nih pengin menceritakan di sini. Rencana buat hadir ke perayaan Waisak saat itu adalah ide Nana –sahabat saya. Kami berdua berangkat dari Yogyakarta pagi buta, tujuan pertama kami adalah Candi Mendut. Ada apa sih di sana?

waisak di candi mendut. foto oleh rizky almira
waisak di candi mendut. foto oleh penulis

Di Candi Mendut saat itu sudah dipenuhi umat Buddha dengan atribut baju berwarna putih yang sudah siap untuk mengikuti semua prosesi perayaan Waisak. Mulai dari doa bersama, penyerahan secara simbolis api dharma, air suci hingga nanti jalan kaki bersama-sama dari Candi Mendut hingga Candi Borobudur. Siapapun bisa ikut acara ini kok. Saya dan Nana sempat ikut prosesi doa bersama di Candi Mendut. Sebelumnya kami harus melakukan pendaftaran dahulu dengan memberi iuran Rp 100,000,- kepada peserta kemudian kami diberi kartu peserta, buku panduan, air suci dan akses untuk mengikuti pelepasan 1000 lampion di Borobudur.

Peserta dari perayaan Hari Trisuci Waisak ini juga bermacam-macam. Jujur saja, saya selama ini melabeli umat agama ini didominasi oleh kelompok tertentu. Ternyata pikiran saya selama ini salah. Saya sempat melihat ada rombongan umat Buddha yang memakai baju adat Jawa. Rupanya mereka adalah umat Buddha yang tinggal tidak jauh dari Borobudur. Astaga, sok tahu sekali ya saya selama ini. 😀

Hari Trisuci Waisak. foto oleh rizky almira
Hari Trisuci Waisak. foto oleh penulis

Setelah semua prosesi di Candi Mendut selesai, rangkaian berikutnya adalah memboyong api dharma dan air suci ke Candi Borobudur. Saya enggak mau ketinggalan buat ikut jalan kaki ke Borobudur. Cukup jauh sekitar 3km tetapi saya cukup menikmatinya. Sepanjang jalan umat Buddha membaca doa-doa sambil memercikkan air suci –yang dipercaya membawa berkah. Saya jadi enggak sabar dengan acara berikutnya di Borobudur. 😀

Sayangnya begitu masuk di area Borobudur, tidak semua diperbolehkan masuk ke area candi. Akses hanya diberikan untuk umat Buddha. Tujuannya baik sih, supaya mereka bisa fokus dalam menjalankan ibadah dan tidak terganggu oleh kehadiran publik yang penasaran –seperti saya ini. Kemudian letih baru terasa, akhirnya saya dan Nana hanya bisa rebahan di atas rerumputan. Lapar!

Perut kami kosong tapi bingung mau beli makan apa. Mau cari makan, motor kami parkir di dekat Candi Mendut. Akhirnya kami memutuskan buat jalan kaki dan dengan tampang memelas akhirnya ada juga Bapak Ojek yang mau antar kami berdua ke Candi Mendut. Hahaha. Satu motorpun ditumpangi 3 orang —please, ulah kami tidak patut ditiru. 😀

tahu kupat khas Blabak. foto oleh rizky almira
tahu kupat khas Blabak. foto oleh penulis

Rasanya kurang lengkap kalau sedang jalan-jalan ke suatu tempat tidak mencicipi makanan khasnya. Sepulang dari Candi Mendut, kami pergi ke arah Kota Magelang untuk berburu kuliner lokal. Modal insting, kami memilih salah satu warung di tepian Jalan Magelang. Kami memesan dua porsi tahu kupat dan dua gelas es teh. Penampakannya seperti di atas. Sebelumnya saya pernah mencicipi tahu kupat khas Magelang, tetapi kalau yang khas Blabak baru kali ini sih.

Isinya ada irisan tahu goreng, lalu kobis, toge, irisan seledri, taburan kacang dan disiram dengan kuah gula jawa yang dimasak dengan lengkuas, daun salam dan bumbu lainnya. Legit! 😀
Buat kamu yang terbiasa melahap makanan Jawa Timur mungkin lidahnya agak berontak ya, saking manisnya. Tetapi tahu kupat ini wajib dicoba kalau sedang main ke daerah Muntilan atau Magelang. Cobain aja supaya kamu tidak penasaran sama rasanya. Siapa tahu jodoh. Asyik! 😀

Sebelum kembali ke Candi Borobudur, kami memutuskan untuk mampir di rumah salah satu rekan kami. Lumayan, bisa numpang mandi dan ibadah. Saat itu sempat hujan rintik-rintik dan agak ragu buat kembali ke Candi Borobudur.

“Di Magelang langganan hujan kalau lagi Waisak, Mba.” kata Ibu teman saya.

“Tapi biasanya di Borobudurnya malah enggak hujan sama sekali.” tambahnya.

Saya dan Nana nekat berangkat. Benar saja, daerah Borobudur justru tidak hujan sama sekali dan cahaya rembulan terlihat jelas di langit. Sekitar pukul 9 malam kami sudah berada di dalam area Borobudur. Kami diperbolehkan ikut di pelepasan lampion karena sudah memegang kartu tanda peserta yang diperoleh sejak di Candi Mendut. Sebenarnya bisa membeli tiketnya di Borobudur, namun harga tiketnya berbeda. Kurang tahu per orang berapa yang jelas selisihnya banyak banget.

pelepasan 1000 lampion di borobudur. foto oleh rizky almira
pelepasan 1000 lampion di borobudur. foto oleh penulis

Bagian yang paling menyenangkan adalah saya bisa mengikuti sesi meditasi. Di mana kita dipersilakan untuk duduk di tempat masing-masing. Duduk dengan keadaan yang setenang-tenangnya, menghirup udara segar dan aroma rumput basah. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti meditasi di ruang terbuka. 🙂

Saat meditasi, peserta dibimbing untuk menenangkan pikiran. Secara tidak langsung, peserta diarahkan untuk melepaskan beban yang selama ini menyesakkan dada. Meditasi ini bisa diikuti oleh siapapun kok. Saya sebenarnya tertarik karena ingin bisa meredakan pikiran yang stress dan menyembuhkan luka –yang tak berdarah tetapi rasanya sakit sekali. Hahaha.
Nah, setelah meditasi selesai, panitia membagikan lampion untuk diterbangkan bersama-sama. Satu lampion bisa diterbangkan oleh 4-5 orang. Lampionnya gede buanget bosque!

pelepasan lampion di borobudur. foto oleh rizky almira
pelepasan lampion di borobudur. foto oleh penulis

Ohya, sebelum menerbangkan lampion. Peserta diminta menulis doa dan harapan pada stiker yang kemudian direkatkan pada lampion. Kami semua sibuk menulis doa. Sementara peserta lain ribet dengan menyalakan api untuk menerbangkan lampion, saya dan Nana malah sempat marahan gara-gara saya kurang gerak cepat untuk meminta lampion kepada panitia. Kami belum kebagian lampion dan Nana mulai geram. Ya namanya juga pertemanan ya, kadang baikan, kadang berantem. Untungnya sih enggak lama dan kami pun kembali berdamai.

Satu per satu lampion pun dilepaskan dan semua kepala menengadah ke arah langit yang cerah. Beginilah suasana langit di malam itu. 🙂

pesta lampion di borobudur. foto oleh rizky almira
pesta lampion di borobudur. foto oleh penulis

Perjalanan kali ini sangat berkesan bagi saya karena bisa mengenal lebih dekat dengan umat agama lainnya. Hal yang bisa saya tangkap dari ajaran Buddha ialah mengajak untuk menyebarkan dharma sebanyak-banyaknya. Selain itu ajaran Buddha lain adalah menebar cinta kasih untuk semuanya. Pada akhirnya semua agama adalah sama, mengajarkan untuk berbuat kebaikan dan meredam kebencian apalagi dendam.

Selamat Hari Trisuci Waisak 2018 untuk kamu yang sedang merayakan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *