Banyak-banyak sabar kalau makan di Warung Kopi Klotok
Saya membelokkan sepeda ke gang yang hampir selalu ada polisi cepek siaga. Baru beberapa meter dari jalan utama, kayuhan terhenti karena harus mengalah dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Saya menghitung perlu 2 kali demikian sebelum tiba di Warung Kopi Klotok. Begitu sampai pemandangannya lebih menakjubkan lagi. Uh, mobil berderet di tepi jalan sebelum masuk area warung. Ramalan saya suasana di warung pasti lebih padat.
Ternyata dugaan saya benar. Saya dan Mba Jay tetap meneruskan niat untuk sarapan di sini. Bukan rahasia lagi kalau warung ini tuh selalu ramai. Apalagi akhir pekan begini. Terakhir kesana hari Minggu kemarin sekitar jm 9 pagi lah. Perut sudah lumayan lapar nih, minta segera di isi. Kami segera masuk ke pondok utama yang berbentuk rumah limasan.
Saya bergabung dengan antrean yang mengular di area dekat dapur. Khusus lauk seperti pindang goreng tepung, telur dadar dan tempe goreng memang harus antre untuk pemesanan. Saya dengan sisa tenaga setelah gowes hanya bisa sabar, menanti giliran dengan pasrah. Padahal perut sudah keroncongan dan sesekali menyuap nasi megono di piring yang saya pegang. Ohya, sebelum antre pesan lauk jangan lupa ambil nasi dan sayur mayurnya.
Seingat saya lho ya, pilihan nasi ada nasi putih dan nasi megono. Terus kalau sayur ada sayur asem, sop, lodeh tempe dan kacang panjang, lodeh daun singkong, dan sayur tumis. Lalu juga ada sambal korek. Konsep menunya memang makanan ndeso sesuai dengan suasana warungnya. Menurut saya, masakannya rumahan sekali dan mungkin itu bisa membuat siapa pun bernostalgia ketika di kampung halaman. Lha wong di rumah biasanya Ibu saya masak itu. Duh, jadi kangen rumah.
Sebenarnya bersabar antre demi telur dadar dan tempe garit (tempe yang sudah direndam bumbu dan digoreng tanpa tepung) ini nggak ada ruginya. Saya jadi punya waktu untuk mengamati hectic-nya suasana dapur. Yah, meskipun makin lama hawanya semakin panas karena berdiri di dekat tungku yang berjajar di samping saya.
Tidak jauh dari tungku, banyak sekali pisang kepok digantung pada tiang dan dinding. Pisang kepok memang paling cocok kalau diolah menjadi pisang goreng. Salah satu menu yang sering saya pesan di Warung Kopi Klotok nih. Pesan 1 hingga 2 porsi bisa bikin kenyang tanpa harus makan nasi. Apalagi ditemani dengan segelas teh tubruk. Muwantap!
Antrean pun bergerak pelan tapi pasti. Akhirnya, giliran buat dapat telur dadar dan tempe goreng pun tiba. Tetapi perjuangan belum berakhir, di dalam maupun di luar warung kayaknya sudah tidak ada tempat yang tersisa. Terus mau makan di mana nih?
Saya dan Mba Jay nggak mau kehilangan akal, kami mengitari hampir seluruh area dan akhirnya duduk di lincak menghadap areal sawah. Kami duduk nyempil di antara orang-orang yang duduk lesehan beralas tikar.
Nasi megono yang saya pesan ini sebenarnya makanan khas daerah Pantura sana. Nasi yang berbumbu tetapi beda dengan nasi uduk ya. Kalau nasi uduk kan diolah pakai santan dan bumbu rempah lainnya. Nah, kalau nasi megono ini nasi yang dimasak dengan parutan kelapa, cacahan nangka muda, ada sayurnya sedikit, kacang panjang dan yang nggak nyangka lagi ada ikannya. Ukurannya kecil, yah kira-kira setengah jari kelingking. Kelingking orang dewasa ya bukan kelingking bayi. 😀
Saya menyantap dengan lahap, ya maklum lah baru dihajar tanjakan sepanjang Cangkringan. Nasi megono ini disantap nggak pakai sayur lain sebenarnya sudah enak. Justru kalau dimakan sama sayur lain khawatirnya akan merusak cita rasanya. Belum saya buktikan sih. Hehehe. Jadi saya hanya memesan telur dadar dan tempe sebagai lauk pendampingnya. Uh, rasanya campur aduk. Gurih-gurih asin gimana gitu. Tapi lama-lama seret juga nih soalnya enggak ada kuahnya.
Setelah beberapa kali makan dan kongko di sini, saya belum bisa menangkap lezatnya dari menu-menu di warung ini selain tempe goreng dan pisang gorengnya. Yah, meskipun pisang gorengnya pernah tidak sesuai dengan harapan. Eh, ini subyektif ya karena saya suka pisang goreng yang garing dengan tekstur pisangnya yang agak padat. Pernah sekali pesan pisang goreng eh kayak kurang lama gorengnya. Saking ramainya antrean pelanggan kali ya, jadi tergesa-gesa.
Kalau menurut saya pribadi, suasana di Warung Kopi Klotok ini memang nggak saya ragukan dengan catatan kesini pada waktu yang tepat ya. 😀
Karena warung ini bisa jadi alternatif untuk orang yang bosan dengan kemegahan dan hiruk pikuknya kota seperti saya. Jadi tempat untuk mengobati rindu dengan masakan rumahan ala Ibu di rumah. Atau sekedar nostalgia ketika hidup dengan nenek di kampung halaman.
Saya lebih memilih kesini pada hari kerja antara Senin hingga Kamis pada malam hari setelah jam makan malam. Karena suasana tidak terlalu ramai dan bisa duduk di bangku yang ada di belakang rumah pemilik warung. Kalau cuaca sedang cerah, saya bisa memandang langit lepas yang bertaburan bintang. Saya bisa menemukan kerlip pantat kunang-kunang sambil mendengar gemericik air dari kali kecil di tepian sawah.
Suara serangga dan aroma rumput basah di sana mengingatkan saya akan rumah –karena rumah saya benar-benar di desa dan ada kemiripan suasana. Meskipun hawanya sangat dingin kalau malam hari karena lokasinya memang di Pakem yang notabene dataran tinggi dan dekat dengan Gunung Merapi. Tetapi saya tetap merasa nyaman karena ada dia yang sedang tersenyum di hadapan saya. Cie…
Dulu kesini bisa jadi alternatif melepas lelah setelah 8 jam lebih bekerja. Tetapi sekarang sebaliknya karena dia sudah menjadi mantan. Hahaha. Seandainya kongko di sana lagi, saya yakin bukan kedinginan karena hawa tetapi karena kenangan. Heu…
Ngomong-ngomong meskipun sudah beberapa kali ke Warung Kopi Klotok tetapi hingga saat ini saya belum pernah memesan dan menyesap kopinya. Ampuni! 😀