Kenangan mudik tahun lalu
Tahun ini kamu mudik kemana? Cerita mudik saya yah sebenarnya gitu-gitu aja. Namun mudik tahun lalu menurut saya sangat berbeda.
Tahun lalu, status saya masih sebagai seorang karyawan di Kulina.id dan tinggal di Yogyakarta. Sudah sekitar 3-4 tahun hidup di sana.
Biasanya mudik memanfaatkan moda darat, kereta api atau travel. Namun saya memilih mudik bersama kawan lama, si Going Merry.
Dia tak bergender. Ehe. Ya iya lah, namanya juga motor matic. Benda mati. Tapi saya sayang banget sama dia.
Mungkin saya sayang akan kenangan bersamanya, lebih tepatnya. Motor ini salah satu saksi perjalanan hiduo saya sejak SMA, kuliah, dan kerja. Dia ikut kemana pun saya pergi.
Rute paling jauh tuh Yogyakarta – Situbondo Jawa Timur sana lho. Paling ekstrem, kami pernah melenggang di atas pasir Gunung Bromo di mana lokasi tersebut didominasi oleh Jeep. Bonek, zheyeng.
Kembali ke cerita mudik, saya merasa motor mio ini sudah waktunya untuk menghabiskan masa tuanya di rumah. Kasihan kalau tetap saya paksakan untuk mengendarai kesana kemari.
Akhirnya, saya pun memutuskan untuk pulang ke Jawa Timur dengan mengendarainya.
“Kamu yakin, Kay?”
Kurang lebih ada beberapa pertanyaan serupa yang masuk ke telinga. Yakin yakin saja. Kenapa enggak? Saya nggak pertama kali ini motoran jarak jauh.
Sebelum hari mudik tiba, saya persiapkan segala sesuatunya. Sebenarnya bukan saat mudik doang sih, tiap kali mau dipakai berkendara jauh maka akan dicek mulai dari ujung ban depan hingga ujung ban belakang.
Itu yang bikin saya percaya diri selama di jalan. Selain itu mudik tahun lalu, suasana hati saya masih kalang kabut. Bisa dibilang, ambyar. Getirnya kehidupan percintaan.
Padahal sudah sekitar satu bulan lebih pasca putus dengan mantan terakhir. Tapi kok masih terasa sakit ya. Apalagi mudiknya melewati kampung halamannya, Madiun. Bikin saya meratapi duka sepanjang perjalanan karena ingat tentangnya.
Mudik tahun lalu, saya ambil rute yang agak berbeda. Biasanya lewat jalur selatan, Yogyakarta-Wonogiri-Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung-Blitar. Kali ini saya lewat Sragen-Ngawi-Madiun-Nganjuk-Kediri-Pare, karena tujuan saya sebelum ke Blitar adalah mampir Malang. Rumah Ibu kandung saya di sana.
Berbekal peta digital, saya mengarungi jalan beraspal dari hawa dingin pagi hari sampai penuh debu dan sengatan matahari pada siang hari.
Sempat nyasar di daerah Kediri sana. Salah saya sih, mendadak belok ke arah Kediri mentang-mentang nemu papan petunjuk arah ke Kediri. Padahal belum saatnya.
Lalu berputar-putar di sekitar pabrik gula Kediri. Setelah memberanikan diri bertanya pada orang, baru deh saya kembali ke jalan yang benar.
Begitu memasuki Kab. Malang, perasaan familiar dengan sekitar pun menjalar. Saya sudah sampai di kampung halaman kedua.
Aroma hutan, hawa dataran tinggi, pohon-pohon tepi jalan yang rimbun, tak banyak berubah.
Selamat datang di rumah, tempat berpulang ketika lelah. Tempat berlindung dan ternyaman sedunia. Setuju nggak?