Close
Itinerari Keliling Banyuwangi Selama 4 Hari
Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

Itinerari Keliling Banyuwangi Selama 4 Hari

Kado ulang tahun untuk diri sendiri sekitar 2 tahunan yang lalu.

Sejak berstatus karyawan, saya merayakan ulang tahun di luar kota. Kalau enggak gunung atau mana kek gitu pokoknya dengan suasana yang berbeda. Iya, saya sengaja minggir untuk cari suasana baru dalam rangka menyambut usia yang baru. Dua tahunan yang lalu, saya memilih Banyuwangi sebagai destinasi merayakan ulang tahun.

Saya berangkat sendirian dari Yogyakarta. Selama 4 hari keliling Banyuwangi, saya memasrahkan semua pada Pak Sigit, warga lokal yang menjadi guide. Beliau membuat itinerari sekaligus menemani saya keliling Banyuwangi. Saya terlalu malas bikin itinerari, prinsip saya kala itu adalah membiarkan semesta kasih kejutan. Jadi saya tak tertarik menggali informasi tentang Banyuwangi.

Gimana cara menuju Banyuwangi?

Saya berangkat dari stasiun Lempuyangan ke Banyuwangi naik kereta api Gaya Baru Malam Selatan (kelas ekonomi) yang transit di Stasiun Gubeng, Surabaya. Kemudian perjalanan dilanjut dengan kereta Probowangi (kelas ekonomi) yang berangkat sekitar pukul 04.25 WIB dan tiba di stasiun Karangasem, Banyuwangi pukul 11.24 WIB.

Pulangnya dari Banyuwangi, saya naik Mutiara Timur Siang (kelas bisnis) yang berangkat sekitar pukul 09.15 WIB dan tiba di stasiun Gubeng sekitar pukul 15.17 WIB. Lalu lanjut dengan kereta api Sancaka (kelas ekonomi) menuju stasiun Yogyakarta.

Gimana akomodasi selama di Banyuwangi?

Saya menghubungi Pak Sigit sebagai rumah singgah selama saya di Banyuwangi. Rumah singgah milik Pak Sigit ini gratis namun nggak sembarang orang bisa menginap di rumahnya. Pak Sigit juga tetap ingin menjaga keamanan dirinya sendiri dan keluarganya. Beliau juga mengantar dan menemani saya kemanapun.

Hari Pertama

Begitu kereta berhenti di stasiun Karangasem, saya turun dan menemui Pak Sigit yang tiba duluan dan menunggu di teras stasiun. Ia mengajak saya sarapan sekaligus makan siang nasi pecel yang lokasinya nggak jauh dari rumahnya. Usai makan, beliau mengajak saya ke rumah Bapaknya dan menunjukkan kamar saya. Tempat tidur yang sederhana tapi cukup nyaman.

Air Terjun Telunjuk Raung

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Air terjun Telunjuk Raung. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Sebelumnya, Pak Sigit menawari saya untuk lanjut jalan atau pilih ngaso dan mulai jalan besoknya. Tentu saya memilih untuk lanjut jalan-jalan. Pak Sigit pun mengajak saya ke air terjun yang katanya ada di lereng Gunung Raung. Sialnya, mendung semakin rapat dan akhirnya turun hujan deras. Kami pun berteduh di gubug milik warga. Cuaca tidak bisa diprediksi. Kuncinya cuma satu, “sabar”.

Air terjun Telunjuk Raung ini berada di Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Dua tahun lalu pemandangannya sangatlah asri dan bebas sampah. Sisa hujan lebat yang turun bikin suasana di sekitar air terjun semakin mistis. Saya nggak berani mendekati air terjun karena selain debit air yang cukup deras juga bebatuan yang licin.

Dari Pak Sigit lah, saya tau tanaman selada air yang tumbuh di tepian sungai. “Masyarakat Banyuwangi biasa makan selada air buat lalapan dan sayur, Mbak.” ujarnya. Saya mager buat main air, sumpah, dingin banget.

 

De Djawatan, Hutan Trembesi di Benculuk Banyuwangi

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Djawatan, Benculuk. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Dari kawasan lereng Gunung Raung, kami bergeser ke daerah Benculuk, Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Pak Sigit membawa saya ke hutan trembesi. Kawasan wisata ini bikin saya seperti memasuki dunia lain. Pohon raksasa dan kokoh ada di mana-mana. Pohon trembesi yang dahannya meliuk dengan rumbai mengingatkan saya pada kaki serangga. Dari Pak Sigit, saya tau bahwa kawasan ini dulunya adalah gudang kayu jati yang dikelola oleh Belanda dan kini menjadi salah satu tempat rekreasi.

Sebenarnya De Djawatan ini bagus untuk spot foto. Namun datang kesini tanpa mengajak teman yang bisa dijadikan model dadakan itu bagai sayur tanpa garam. Sementara saya bukan tipe yang suka difoto. Mau memotret Pak Sigit, tapi kok ya sungkan. Wqwq. Akhirnya saya hanya memotret tumpukan kayu dan segala macam yang ada di hadapan saya.

 

Hari Kedua

Taman Nasional Meru Betiri – Teluk Hijau (Green Bay)

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Teluk Hijau atau Green Bay. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Pagi-pagi sekali saya sudah bangun dan bersiap jalan-jalan seharian. Kelar sarapan, kami berangkat ke Taman Nasional Meru Betiri, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Kami tidak menjelajah ke semua kawasan taman nasional tersebut. Tujuan kami hanya ke Pantai Teluk Hijau atau Green bay dengan jalan kaki, tidak naik perahu seperti pengunjung kebanyakan. Motor kami dititipkan pada rekan Pak Sigit. Lalu kami jalan kaki menuju pantai.

Butuh waktu sekitar 30 menit, menyusuri hutan dengan medan naik turun. Semakin masuk ke hutan, semakin banyak monyet yang bergelayutan di antara pohon. Selama tracking, tangan saya sempat tertusuk duri akibat tergesa-gesa mencari pegangan. Saya nggak tau kalau dahan yang saya pegang itu ternyata berduri.

Perih yang dirasa itu akhirnya terbayarkan dengan pemandangan ketika saya tiba di bibir pantai Teluk Hijau. Hamparan pasir putih membuat kontras warna air laut yang hijau tosca itu. Saking paginya, pantai pun masih sepi. Saya happy.

 

Pantai Rajegwesi, Goa Macan

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Jalur ke puncak bukit Goa Macan ditutup. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Kami hanya singgah sebentar di Pantai Rajegwesi, lokasinya juga tidak jauh dari Teluk Hijau atau Green Bay. Saking bentarnya, saya nggak sempat memotret pemandangan. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Goa Macan. Sepanjang perjalanan, pikiran saya penuh tanda tanya. “Pak, dari tadi saya lihat banyak warga yang menanam buah naga di pekarangan mereka ya?”

“Iya, mbak. Banyak petani yang banting stir menanam buah naga karena biaya perawatannya murah dan hasil panennya lebih stabil.” jawab Pak Sigit. Selain kemegahan alam Banyuwangi, pemandangan tanaman buah naga yang saya jumpai hampir di sepanjang jalan juga bikin saya norak. Mungkin buah naga sedang hype di sana. Entah ya saat ini gimana kabar buah naga di sana.

Goa Macan sendiri adalah bukit yang tidak terlalu tinggi. Konon, goa tersebut ada penunggunya dan Pak Sigit sempat menceritakan bahwa ada wisatawan yang kurang sopan akhirnya kesurupan. Ih, ngeri. Sayangnya jalur menuju puncak dari bukit Goa Macan ini ditutup. Saya kurang tau penutupan jalur ini akibat ulah tangan jahil atau faktor alam.

Kami ngaso sebentar sebelum menuruni bukit. Dari atas, saya leluasa memandangi lautan lepas dan bukit di seberang. Pak Sigit menunjuk pada bukit yang sedang saya pandangi. “Di sana ada aktivitas penambangan emas.” kata Pak Sigit. Banyuwangi sungguh kaya. Semoga kekayaan Banyuwangi bisa dimanfaatkan dengan bijak.

 

Pantai Mustika Pancer, Pantai Pulau Merah

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Pantai Mustika Pancer. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Bergeser ke arah timur, kami menghentikan laju motor di Pantai Mustika Pancer. Pantainya landai dan sepi. Saya duduk bersandar pada pohon pohon pandan pantai. Semilir angin pantai memberi kesegaran pada saya yang basah oleh peluh. Gerombolan daun pandan pantai menghadang teriknya sinar matahari.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Pantai Pulau Merah. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Tidak jauh dari Pantai Mustika Pancer, ada Pantai Pulau Merah. Kedua pantai ini masih berada di kawasan Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Namun suasana dari kedua pantai tersebut berbeda. Pantai Pulau Merah adalah Pantai Kuta-nya Banyuwangi. Paling banyak didatangi oleh wisatawan mancanegara daripada pantai-pantai yang sebelumnya saya kunjungi. Di pantai Pulau Merah paling cocok untuk santai dan menikmati matahari terbenam.

 

Hari Ketiga

Taman Nasional Alas Purwo – Sadengan

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Kanan-kiri sepanjang jalur menuju T.N. Alas Purwo. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Saya terkesima dalam perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo. Sebab hutan tersebut dikenal sangat angker, juga karena pemandangannya ternyata benar-benar bagus. Sebelum masuk ke kawasan Alas Purwo, Pak Sigit mengajak saya berhenti di sebuah pura. Saya mengikuti Pak Sigit yang melakukan ritual dengan berkeliling pura sambil memanjatkan doa meminta keselamatan. Puluhan kera liar mengamati polah kami. Aura magis mulai terasa di sini.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Savana Sadengan. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Alas Purwo tak seseram bayangan saya selama ini. Justru saya sering dibuat melongo dengan keanekaragaman hayati di sepanjang jalan. Saya pun baru tau kalau di dalam kawasan T.N. Alas Purwo terdapat savana atau padang rumput Sadengan. Konservasi ratusan banteng jawa. Nggak cuma bisa nonton banteng jawa lagi makan siang, mata saya menciduk elang yang berkeliaran dan mencari mangsa.

 

Pantai Pancur, Pantai Trianggulasi

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Bertenduh di tepian pantai Pancur. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Kami pun beranjak ke pantai Pancur yang lokasinya masih berada di dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Pantai Pancur ini adalah gerbang masuk menuju Pantai Plengkung atau yang lebih dikenal dengan G-Land. Di sebuah warung, saya melahap makan siang sambil nguping pembicaraan Pak Sigit dan pemilik warung. Mereka menceritakan tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah dan hendak bertapa di Alas Purwo.

Dari mereka saya tau bahwa bertapa itu katanya berdiam diri di sebuah gua, ada yang berpuasa bahkan ada yang hanya pindah nggon turu alias camping di goa tersebut dengan membawa bekal makan dan minum secukupnya. Umumnya orang-orang bertapa itu mencari inspirasi atau petunjuk demi karir, bisnis, atau urusan lain supaya lebih lancar. Percaya nggak percaya sih, tapi nyatanya hingga terakhir kali saya kesana masih banyak kok orang yang berminat untuk bertapa demi masa depan yang gemilang.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Pantai Trianggulasi yang sepi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Pulang dari pantai Pancur, kami mampir di Pantai Trianggulasi yang masih berada di kawasan T.N. Alas Purwo. Pantai ini juga bagus untuk menyaksikan matahari terbenam atau sunset, sayangnya kami nggak bisa tinggal sampai sunset khawatir kemalaman kalau ngeyel. Akibatnya tiba di rumah sudah larut malam dan nggak ada waktu untuk istirahat. Padahal nanti malam kan ada agenda ke Kawah Ijen.

 

Hari Keempat

Kawah Ijen, Kawah Wurung, Kali Pait

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Bibir kawah Ijen. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Mendekati tengah malam, Pak Sigit mengetuk pintu kamar saya dan memberikan sebuah jaket rada tebal supaya tidak kedinginan saat hiking di Kawah Ijen. Kami berangkat sekitar jam 11 malam dan tiba di parkiran kawasan Wisata Kawah Ijen pukul 1 malam. Tidak langsung naik, kami ngaso dulu di warung langganan Pak Sigit sambil menunggu loket dibuka. Api unggun di muka saya tidak membantu mengusir dingin. Di sana, dinginnya sangat keterlaluan.

Pada jam 2 dini hari kurang dikit, Pak Sigit mengajak saya mulai jalan santai. Track menuju puncak ternyata menanjak terus dari bawah. Sesekali saya harus berhenti untuk istirahat. Saya nggak mau memaksakan diri daripada terjadi apa-apa dan merepotkan Pak Sigit. Kami berdua sempat tertidur di pos terakhir penimbangan batu belerang. Lalu lanjut jalan kaki ke puncak.

Sesekali muka saya menengadah ke langit. “Ya ampun, saya merayakan ulang tahun di atas gunung lagi.”. Dalam diam, saya memanjatkan harapan dan doa untuk masa-masa yang akan datang. Bisa berdiri tegak menyaksikan blue fire di kawah ijen, lalu menikmati pemandangan kawah dalam cuaca cerah, dan menyaksikan matahari terbit dari Kawah Ijen adalah kado terindah pada ulang tahun ke-26.

“Kali ini benar-benar rejekinya Mbak Kiki, soalnya biasanya saya antar tamu tuh kawah ini nggak begitu kelihatan karena tertutup kabut.” kata Pak Sigit. “Yes, sir. Semesta sedang tersenyum pada saya dan memberi sebuah hadiah ulang tahun yang sangat berkesan.” batin saya.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Kawah Wurung. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Turun dari Kawah Ijen, Pak Sigit memacu gas menuju Kawah Wurung. Kalau cek di google sih Kawah Wurung sudah masuk ke wilayah Bondowoso tapi lokasinya nggak jauh-jauh amat dari Kawah Ijen kok. Pak Sigit langsung izin untuk tidur di sebuah saung yang menghadap langsung Kawah Wurung. Saya ikut duduk dan rebahan, tapi mata nggak bisa diajak kompromi. Mata saya tetap terjaga.

Kawah Wurung ini berupa bukit padang rumput yang sangat luas. Gerombolan domba bikin pemandangan makin elok. Sayangnya akses jalan menuju kesini agak susah. Berdebu, berpasir, dan batu sekepalan tangan di mana-mana. Cukup menantang kan? Ya semoga saja saat ini akses jalan ke Kawah Wurung semakin mudah. Kelar ngaso, kami pun turun dan mampir di Kali Pait. Sungai yang airnya berwarna hijau tosca.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Kali Pait. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Antaboga dan Dusun Kakao, Glenmore

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Petirtaan Pura Antaboga. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

“Saya dan istri suka main kesana kalau sedang suntuk. Soalnya di sana suasananya sangat teduh dan menenangkan.” cerita Pak Sigit pas kami dalam perjalanan menuju Wisata Religi Antaboga. Kawasan hutan pinus di wilayah Glenmore dan terdapat Pura Beji Ananthaboga dengan petirtaan atau pemandian yang terletak di lereng Gunung Raung.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Wisata relogi Antaboga, Glenmore. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Wisata Antaboga ini juga menjadi cerminan kerukunan antar umat beragama karena tidak hanya pura saja, namun juga dibangun tempat beribadah untuk pemeluk agama lain. Terdapat surau untuk yang muslim, altar dengan patung Dewi Kwan Im untuk umat Budha dan Konghucu. Selain itu terdapat bukit Maria Medali Wasiat, bukit Yesus, dan bukit Maria yang memangku Yesus setelah disalib yang digunakan umat nasrani untuk beribadah.

Dari wisata Antaboga, Pak Sigit mengajak saya mengunjungi Dusun Kakao dan masih berada di kawasan Glenmore. Di dusun ini nggak hanya kedai dan pusat oleh-oleh, namun juga sebagai dusun penghasil  coklat. Di sini pengunjung bisa duduk santai menyesap es coklat dan beli oleh-oleh khas Banyuwangi.

 

Jalan-jalan ke Banyuwangi. Dokumentasi pribadi Rizky Almira
Santai di Dusun Kakao, Glenmore. Dokumentasi pribadi Rizky Almira

 

Hari Kelima

Saya pulang ke Yogayakarta dengan kereta yang berangkat sekitar jam 9 pagi dari stasiun Karangasem, Banyuwangi.

 

Itinerari ini sengaja dibuat tanpa menyebutkan rincian berapa biaya yang saya keluarkan di tiap destinasi karena kemungkinan besar tarifnya mengalami perubahan setiap tahunnya. Saya hanya memberi gambaran berupa destinasi dengan rute yang disesuaikan dengan lokasi. Itinerari ini fokusnya bukan untuk wisata kuliner ya, tapi mengunjungi wisata alam dan ikonik di Banyuwangi.

Barangkali kamu ingin jalan-jalan ke Banyuwangi dan ingin pakai jasa Pak Sigit, jangan ragu kontak saya! Kalau ada pertanyaan terkait pengalaman saya pas jalan-jalan ke Banyuwangi juga boleh kok tinggalkan pesan di kolom komentar. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *