Uji nyali melewati rute yang Subhannallah.
Saya tanpa pikir panjang menawarkan akan mengantarkan sepupu pulang ke Pujon, Kabupaten Malang. Akhirnya, sepupu dan dua putri kecilnya datang dari Malang untuk liburan beberapa hari di rumah.
Padahal dari rumah saya di Gandusari, Kabupaten Blitar ke Pujon itu rutenya Subhanallah sekali. Nggak cuma berkelok kanan-kiri yang nggak ada habisnya kayak goyangan biduan dangdut, jalannya nggak lebar-lebar amat, dan bonusnya adalah jalan berlubang.
“Ya Allah, apa hamba sanggup nyetirin ke Pujon?” tanya hati kecil saya.
Jujur aja ya, saya ini lancar nyetir mobil manual baru beberapa bulan terakhir dan paling jauh baru Blitar – Tulungagung PP. Itupun rutenya dominan jalan rata.
Tapi ada bagian diri saya yang lain yang berkata, “ayo, coba aja dulu.”. Waduh, terdengar seperti iklan ya.
Hari H pun telah tiba. Saya mengalihkan dengan melakukan hal lain untuk mengatasi kegugupan saya. Sialnya, sok sok an sibuk eh malah saat yang dinanti makin cepat tiba. 😀
Setelah semua barang bawaan dimasukkan ke bagasi, Ibu, Sepupu, dua keponakan masuk ke mobil, terakhir Bapak menyusul. Saya tancap gas sambil komat kamit dalam hati mengucap doa minta selamat sampai tujuan.
Tantangan pertama
Deg-degan yang pertama adalah melewati sabo dam yang menghubungkan Desa Ngaringan dan Desa Soso yang super panjang. Sabo dam sendiri seperti jembatan yang mirip benteng, tanpa pagar pembatas karena sungai di bawahnya adalah sungai aliran lahar dari Gunung Kelud.
Panjangnya kira-kira 100 m, sempit hanya muat 1 roda empat, tanpa pembatas, jadi harus bergantian saat melintas. Waktu nanjak dan turun, kemiringannya tajam banget. Ada kali kalo 45 derajat miringnya.
Tanpa bilang langsung, saya tahu Bapak menahan ketakutannya. Beberapa kali teriak kasih instruksi, “ayo cepat-cepat. Biar bisa gantian sama kendaraan lain”, “jangan minggir-minggir!”. Wajar sih, namanya orang tua ya, meskipun keadaan masih aman terkendali, namun was was masih terbayang di benak mereka.
Tantangan kedua
Sekitar pintu masuk Kebun Teh Bantaran sedang ada pembangunan jalan baru dan belum kelar. Jalannya berkelok tajam, udah gitu nanjak lagi, dan tentu saja berlubang.
Tanjakan pertama pun berhasil saya lewati, berikutnya adalah tikungan tajam plus turunan yang curam banget. Kalau digambar bukan bentuk S lagi tapi Z.
Alhamdulillah, lancar.
Tantangan ketiga
“Ayo, gas terus.. tambahin gasnya!” seru Bapak.
Saya pun menambah laju kecepatan mobil sedikit demi sedikit.
“Kalem… Ojo banter-banter to (santai, jangan ngebut-ngebut to)” himbau ibu.
“Lhah, kalem dikomen, ngebut dikomen, kudu gimana to Pak, Bu.” respons saya.
“Ya sudah, saiki terserah kamu wes.”
Bapak dan Ibu sepakat untuk mengalah, percayakan semua dalam kendali saya.
Pikiran saya pun melayang, perjalanan ini seperti mengarungi perjalanan hidup yang sebenarnya. Orang-orang di sekitar kita nggak pernah capek kasih masukan ini-itu, mengingatkan, dan kritik. Namun selama kendali ada dalam genggaman, semua keputusan tetap ada di tangan.
Tantangan keempat
Melewati jalanan di tengah ladang sayur yang masih naik dan turun, plus berkelok. Saat itu jam sudah mendekati Maghrib dan jalanan semakin padat karena nanti malam adalah pergantian tahun baru.
Hari makin gelap, jarak pandang makin terbatas. Beruntung kabut belum turun. Paling deg-degan lagi di pertigaan Ngantang (kiri ke Ngantang-Kediri, kanan ke Pujon-Malang). Pertigaan yang selalu ramai kendaraan yang lalu lalang, kondisi jalannya pun nggak rata. Jadi harus seimbang antara gas dan kopling supaya kendaraan nggak mundur.
Tantangan kelima
Jalanan berkelok nggak ada habisnya kalau kamu lewat rute ke Malang dari Kediri-Ngantang. Sepanjang Ngantang sampai Kota Batu akan melewati jalanan yang berkelok dan diapit oleh bukit, sungai dan jurang. 3 hal itu yang jadi teman sepanjang perjalanan.
Nah, bagian paling menantangnya adalah rumah Budhe saya itu posisinya rada nggak enak. Rumahnya ada di tepi jalan sih, tapi pas tikungan banget. Rada deg-degan saat kasih tanda mau minggir ke kanan jalan. Dari belakang kendaraan sudah ramai mengular, apalagi dari depan.
Sebelum tancap gas buat minggir, sempat ragu dengan kendaraan motor belakang sih. Rada takut kalo seandainya motor tetap jalan sedangkan mobil perlahan minggir ke kanan jalan.
“Ayo!” suara Bapak yang nggak santai itu bikin saya sadar.
Akhirnya, sampai juga di rumah Budhe, di Pujon. Eits, lega buat sementara karena masih ada hari esok saat perjalanan pulang.
Kira-kira pas perjalanan pulangnya hampir sama dengan saat berangkat kemarin karena melewati rute yang sama. Sama bikin deg-degan juga. Alhamdulillah, kami bisa sampai di rumah dengan selamat.
Perjalanan dengan keluarga kali ini tentu banyak memberi saya pelajaran. Cemas, takut, gugup, menghadapi sesuatu yang baru itu sah-sah aja, asal nggak sampai mengganggu fokus.
I’ve made it. Saya masih rada nggak percaya ternyata bisa melakukannya. Perjalanan kali ini tentu bikin saya makin pede untuk melakukan perjalanan lebih jauh lagi. Apa yang saya takutkan sebelumnya sudah berhasil saya hadapi. Nggak cuma itu, saya lebih terlatih menghadapi kebawelan dari Bapak dan Ibu. Sesungguhnya kebawelan mereka itu adalah perhatian yang diekspresikan dengan agak nyeleneh doang.
Saya juga belajar untuk menerima masukan dan kritik, saya dapat banyak tips nyetir di jalanan semi off road ini dari Bapak. Kritikan dari mereka bikin saya lebih waspada ketika di jalan, lebih kalem saat nyetir. Gronjal dikit ada yang bawel.
Begitu juga dengan hidup kita to? Kita nggak selalu benar dan nggak selalu salah, begitupun orang lain. Ada kalanya perlu berkaca, melihat lebih dalam pada diri kita. Jangan-jangan selama ini terlalu egois?