Awal bulan waktunya belanja neh…
“Buk, aku nanti mau keluar sekalian belanja. Apa aja di rumah yang habis? Biar aku sekalian belanja.” saya mengirim sebuah pesan singkat pada Ibu.
“Beli sabun mandi, sabun cuci, pengharum pakaian, kopi sachet, minyak goreng.” jawab Ibu.
“Itu aja?”
“Ohiya, tambah tepung terigu ya.”
Kebiasaan saya sejak tinggal indekos di Yogyakarta, tiap awal bulan –lebih tepatnya setelah menerima gaji– saya meluangkan waktu khusus untuk pergi ke swalayan. Tempat belanja yang saya pilih pun bukan berdasarkan jarak terdekat, tetapi rate harga yang paling miring. Meskipun rada jauh, saya belain tetap pergi kesana.
Namun kini saya sudah tidak indekos lagi, saya kembali tinggal serumah dengan kedua orang tua di kampung halaman. Ceritanya balik ke desa nih. Entah, semenjak saya mengenal Mas Dolis, salah satu founder dari Sahabat Menanam, saya jadi agak ketularan dengan prinsipnya.
Intinya, ia lebih bersemangat untuk membantu perputaran uang di daerah sendiri. Untung sedikit tidak masalah yang penting perputaran uang di Blitar lancar. Setidaknya membantu perekonomian masyarakat Blitar. Saya jadi terinsipirasi dan akhirnya berupaya untuk mengurangi belanja di minimarket atau swalayan.
Saya kembali beralih belanja ke toko kelontong yang masih bertahan di era minimarket yang kian menjamur seperti saat ini. Dikutip dari Wikipedia.org, kelontong memiliki sejarah yang cukup unik. Kelontong adalah istilah dari orang tionghoa untuk sesuatu yang dibunyikan pedagang keliling yang menjual kebutuhan rumah tangga.
Nah, setelah istilah tersebut akrab di mulut masyarakat, ketika ada toko yang menjual kebutuhan rumah tangga seperti sembako dan lain-lain itu maka disebut dengan toko kelontong.
Tekad saya hari ini untuk belanja di toko kelontong pun akhirnya bisa terwujud setelah harus keliling ke beberapa jalan di Kota Blitar. Bukan karena susah menemukan toko kelontong tetapi saya kesulitan mencari toko dengan tempat parkir yang lowong.
Akhirnya saya berhasil parkir mobil di Jalan Anjasmoro, Kota Blitar. Saya belanja di Toko Terus Jaya. Menurut saya, toko ini sangat unik. Kenapa? Toko ini dimiliki oleh kakek nenek keturunan tionghoa dengan 3 karyawati yang wajahnya serupa. Gimana nggak serupa kalau bawahan yang dipakai sama berupa rok pendek. Postur badan ketiganya juga mirip.
Kelihatannya toko ini sepi pelanggan, namun ketika belanja saya harus antri. Kebetulan ketika saya datang, sudah ada beberapa pelanggan yang antri duluan. Pesanan kita akan dicatat terlebih dulu oleh pelayan toko, alangkah baiknya bawa catatan sendiri sih, jadi tinggal ngasih ke pelayan supaya pesanan segera disiapkan.
“Ini nota siapa? Biar tak hitungkan, biar rada cepat.” tanya Engkoh pada pelayan toko.
“Itu punya mbak yang sebelah sana.” jawab pelayan toko sambil menunjuk saya.
Begitu pesanan sudah lengkap, nota akan dihitung manual oleh Engkoh. Lalu setelah ketemu total tagihan, kita akan diberi kembalian –jika uang kita lebih. Setelah itu baru Engkoh mengajak pelayan toko untuk cek ulang belanjaan. Terakhir, belanjaan yang sudah lengkap itu akan diserahkan pada saya –si pelanggan.
Prosedurnya memang cukup panjang karena semua benar-benar dikerjakan manual. SOP ini berlaku untuk semua pelanggan tanpa terkecuali. Kok tahu? Ya iya, saya daritadi berdiri untuk mengamati.
Belanja di toko kelontong memang jadi lebih lama, namun saya nggak masalah kok. Harganya pun mungkin selisih bila belanja di minimarket atau swalayan, entah jadi lebih mahal atau lebih murah tergantung barang apa yang kita beli. It’s okay. Belanja di sini selain melatih kesabaran juga menguji mental, soalnya panas bos. 😀
Bagi saya, itu semua nggak masalah. Namanya demi merawat kelontong. Begitu pula dengan pedagang kecil yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Misalnya, pedagang bensin eceran, toko kecil, atau whatever lah.
Kalau kita semua belanja di minimarket dan swalayan, lalu siapa yang akan beli di pengusaha kecil menengah di sekitar kita? Seenggaknya kemauan kecil ini bisa membantu perekonomian usaha kecil menengah. Kalau bukan kita, siapa lagi? 🙂