Apapun makanan yang ada di kampung halaman mampu memberikan kenyamanan bagi lidah saya, mirip rumah.
Bisa ngerasain makanan yang akrab dengan lidah sejak belasan tahun yang lalu bisa membuat hati saya kembali tenteram. Cita rasa masakannya sudah kadung melekat di lidah.
Saya bahagia banget karena kemarin siang baru makan gado-gado siram di daerah Wlingi, Blitar. Rindu akan makanan di kampung halaman saya sudah menumpuk gara-gara 3 tahun belakangan merantau ke Yogyakarta dan pulangnya bisa dihitung dengan jari tiap tahunnya.
Tiap kali pulang, pasti malas keluar rumah. Paling hanya sempat makan nasi pecel bikinan Ibu atau beli di warung makannya seorang teman. Kalaupun makan di luar biasanya menunya ayam goreng atau bakar, seafood, atau ikan. Jarang sekali bertemu dengan gado-gado siram.
Memang di Yogyakarta enggak ada yang jual gado-gado?
Ada, banyak sekali malah. Tapi gimana ya, rasanya tetap beda dari gado-gado yang biasa saya makan di Blitar. Menurut saya, gado-gado yang dijual di Yogyakarta tuh cenderung manis. Mungkin karena cara menyajikannya beda kali ya (berdasarkan opini saya lho).
Gado-gado yang biasa saya makan di Blitar adalah gado-gado siram which is bumbu kacangnya enggak diulek dadakan tetapi diolah dengan proses yang lebih panjang. Biasanya Ibu saya memasak bumbu gado-gado dengan menyangrai kacang tanah, kemudian dihaluskan dengan bawang putih, cabai merah besar, gula jawa, cuka (atau air asam), dan santan kental –daun salam juga boleh ditambahkan supaya lebih nikmat.
Proses pembuatan bumbunya enggak berhenti sampai di situ, perlu direbus dengan ditambahkan air secukupnya dan dikira-kira supaya level kekentalannya pas. Aduk perlahan dengan penuh kasih sayang dan jangan lupa apinya kecil aja.
Jika adonan mulai meletup-letup pertanda sudah siap untuk disiramkan ke atas irisan kentang, taoge, wortel, kacang panjang, dan kubis yang direbus. Lalu sayur mentahnya ada selada, irisan tomat dan timun. Ohya, tidak ketinggalan dengan irisan telur ayam rebus, potongan tempe dan tahu yang digoreng tanpa tepung.
Sentuhan terakhir adalah kerupuk udang dan emping melinjo, tidak ketinggalan juga sambal bawang yang bisa menambah selera makan saya. Begitu lah kira-kira proses penyajian gado-gado siram.
Saya masih ingat banget, semasa masih duduk di bangku SMA, Ibu sering sekali beliin sebungkus gado-gado sepulang kerja. Beliau membeli di tukang gado-gado yang rutin mampir kantornya dan tidak lupa mampir ke sekolah saya karena beberapa guru adalah pelanggan setianya. Saya tidak suka gado-gado waktu itu. Saya enggak begitu doyan sayur. Makanan saya keringan gitu (kayak nasi dengan fried chicken KW doang sudah lahap banget).
Terus entah gara-gara apa dan sejak kapan, saya mulai doyan gado-gado. Awalnya ada beberapa bagian yang mesti enggak kemakan, lama-lama seporsi habis juga saya embat. Hahaha.
Kini, saya selalu kangen gado-gado siram dan wajib makan kalau sedang pulang ke Blitar. Makanan ini istimewa buat saya karena ketika menyantapnya dari suapan pertama hingga terakhir mampu membangkitkan ingatan-ingatan tentang masa remaja saya, terutama perhatian-perhatian kecil Ibu.
Rada kesulitan kalau harus mencari tukang gado-gado langganan jaman saya SMA dulu, akhirnya saya memutuskan untuk membeli gado-gado di pinggir jalan dan tempat itu merupakan salah satu rekomendasi dari teman SMA saya, Rosa.
Sekitar pukul 12.00 siang saya telah tiba di lapaknya, sebuah kendaraan roda empat yang cukup tua dan disulap menjadi food truck. Rupanya Ibu gado-gado (sang penjual) masih merapikan dagangannya dan saya adalah pelanggan pertamanya di hari itu.
Saya memesan tanpa menggunakan lontong. Tidak perlu waktu lama, saya dipanggil Ibu gado-gado dengan senyum yang ramah dan menyodorkan sepiring penuh kebahagiaan (asyik).
Di luar dugaan saya, rasa gado-gadonya mirip dengan yang dijual langganan saya jaman SMA. Saya kok jadi terharu ya saking enaknya, apa karena saking lamanya enggak makan gado-gado seenak ini. Seporsi gado-gado ini harganya Rp 10ribu aja. Murah kan?
Setiap kali makan gado-gado, bagian yang selalu saya sisihkan untuk dimakan terakhir adalah tempe dan tahu gorengnya. Hahaha.
Gado-gado memang istimewa di hidup saya karena menu ini bukan sekedar pembangkit kenangan namun juga pemberi kenyamanan senyaman merebahkan di kamar saya sendiri, bergumul dengan kasur dan selimut, bertemu dengan keluarga di rumah sepulang dari berkelana. Selalu saya rindukan. 🙂