Y. E. S. (Yakin Esok Sembuh)
Akhirnya, saya bisa kembali update menulis lagi. Awal tahun 2019 ini, saya sempat tumbang. Saya masih nguat-nguatin gimana caranya biar masih bisa menulis meski lagi nggak enak body nyatanya nggak shanggoop.
Sekitar tanggal 03 Januari 2019, pokoknya bertepatan dengan Pak Jokowi ada kunjungan kerja ke Blitar, badan saya mulai nggak enak. Sebelumnya saya fine-fine aja eh setelah mandi keramas dan minum susu kaleng yang sebelumnya saya taruh kulkas lha kok badan ini tiba-tiba meriang.
Tidurlah saya meski rambut masih agak basah. Kepala saya pun pening dan badan kian meriang. Saya masih ingat banget, itu adalah jam-jam makan siang di mana Ibu saya mampir buat ngaso sebentar di rumah sebelum kembali ke kantor.
Demam saya tak kunjung reda, akhirnya saya pamit ke orang rumah untuk ke dokter langganan keluarga. Nekat untuk menyetir sendirian, namanya juga pasien mandiri. :p
“Keluhannya apa?”
“Demam, Dok. Kepala saya juga pusing banget.”
Pak Victor mulai memeriksa tekanan darah saya, menyelipkan termometer ke ketiak.
“Coba buka mulutnya, julurin lidahnya sepanjang mungkin.”
“Aaaa…..”
“Wah, radang ini. Banyak lendirnya di rongga tenggorokan kamu. Suhu badan kamu juga tinggi banget, 39,7 derajat celcius lho.”
“Waduh, parah to Dok radang tenggorokannya?”
“Ya nggak parah banget sih. Banyak-banyak minum air putih dan istirahat ya.”
Saya dibekali beberapa obat seperti paracetamol si pereda demam, pusing dan nyeri di badan. Selain itu juga ada beberapa obat lain buat radang tenggorokan.
Tiga sampai empat hari berlalu, suhu badan saya mulai merangkak turun. Tapi nggak dengan pusing dan mual yang belum hilang juga. Badan saya dingin, tapi lemas bukan main. Seperti tak bertenaga.
Puncaknya adalah hari Minggu, di mana suhu badan saya biasa aja, tapi makanan susah masuk. Bayangkan saja, tiap kali makan mual lalu muntah. Minum pun juga kalau kebanyakan akan muntah.
Obat dari Dokter Victor sisa beberapa butir tapi nggak lanjut saya minum. Mau datang ke rumahnya buat periksa, sayangnya hari Minggu adalah waktunya Dokter beristirahat dan tidak membuka praktek.
Sabar… sabar… sabar. Senin sore pun, saya diantar Ibu dan Bapak ke Dokter Victor supaya diperiksa kembali.
“Masih mual?”
“Masih, Dok. Nggak bisa makan dan minum, tiap kali minum kebanyakan juga mual dan akhirnya muntah.”
“Opname aja ya, soalnya kalau nggak opname obatnya juga susah masuk.”
Sempat terjadi debat antara dokter dan Ibu saya. Namun Ibu saya pun akhirnya mengalah dan mengikuti anjuran dokter. Berbekal surat rujukan buat opname, kami bertiga ke UGD RSU An Nisaa’ yang lokasinya di tepi Jalan Raya Bajang, Kec. Talun Kab. Blitar.
Saya langsung antri di UGD untuk pemasangan infus dan perawat observasi penyakit saya. Begitu administrasi selesai, saya didorong menggunakan kursi roda menuju kamar Mina 1 (kamar dengan kelas paviliun).
Terakhir opname, kira-kira saya sedang di bangku taman kanak-kanak atau sekolah dasar awal. Pokoknya saya masih kecil dan pemasangan infus sakit banget kala itu. Eh, ini ternyata waktu infus dipasang rasanya nggak sakit-sakit amat. Pengalaman ngebuktiin kalau sakit itu relatif ya. Maksudnya, level sakit yang dialami dulu rasanya belum tentu sama dengan apa yang dirasain saat ini.
Sama seperti persoalan hidup, level tantangan dulu waktu kecil tentu beda banget dengan persoalan hidup ketika sudah beranjak dewasa. Kembali ke sakit…
Begitu opname, suhu badan saya kembali diukur ternyata masih 38,2 derajat. Suhu badan saya masih tinggi meskipun keringat saya masih terus keluar. Keringat dingin sih lebih tepatnya.
Selama menginap di rumah sakit, saya sulit untuk tidur sepanjang malam. Mungkin karena kebiasaan tidur dalam keadaan gelap ya, sedangkan selama di rumah sakit lampu nyala terus. Meskipun saya ada di kamar paviliun, tapi dalam satu kamar diisi oleh 2 pasien. Kebayang kan kalau tetangga ranjang tidurnya ngorok firasat nggak bakal tidur sampai pagi deh.
Selain itu, tante saya –yang selalu menemani selama saya sakit dan opname– lupa nggak bawa selimut, kaos kaki, dan jaket. Walhasil, totebag saya mendadak jadi bungkus kaki tante saya. 😀
Gara-gara kasihan, saya pun berbagi ranjang dengan tante. Dinginnya AC rupanya bikin tidurnya tak begitu nyenyak. Saya hanya bisa pasrah tiap malam.
Keesokan harinya, ketika perawat menyuntikkan obat di selang infus, nggak lupa menanyakan apa aja keluhan saya.
“Masih mual, Mbak.”
“Buat makan juga sakit perutnya?”
“Iya…”
“Harus banyak makan dan minum ya, Mbak. Soalnya kalau demam berdarah memang gitu, mual dan nggak seberapa doyan makan.”
“Waduh, demam berdarah, Mbak?”
“Iya, trombositnya mbak terakhir masih di bawah 100.”
Saya pun melongo. Bukan gangguan pencernaan, apalagi tipes. Ternyata saya sakit yang lain. Ini adalah pengalaman pertama saya sakit demam berdarah. Keesokan harinya pun pasien di sebelah ranjang saya dibolehkan untuk rawat jalan. Pasien baru pun datang, ternyata staf desa sebelah.
Sempat mengobrol sebentar rupanya sakit yang diderita juga sama dengan saya, demam berdarah. Di Blitar memang sedang musim demam berdarah. Ada banyak faktor, salah satunya karena cuaca dan kebersihan lingkungan yang kurang.
Nafsu makan saya kembali naik, saya dikasih obat anti mual supaya doyan makan. Makanan dari rumah sakit enak sih, cuma karena keseringan telur jadi bosan. Selama opname cuma sekali dapat buah, itupun pisang ambon dan seingat saya beneran cuma satu kali. Kebanyakan lauknya telur, telur, dan telur. Nasinya lembek terus, mungkin sudah prosedurnya ya. Tiap kali makan selalu hampir habis –doyan apa laper??.
Beberapa hari setelah opname akhirnya saya pun diperbolehkan untuk pulang. Awalnya masih lemas dan nggliyeng buat jalan, namun Ibu kandung saya bela-belain datang dari Pujon, Kab. Malang bawain sari kurma supaya kondisi badan saya cepat pulih.
Setelah dibawa pulang, badan masih lemas dan pusing beberapa hari. Sari kurma turut membantu pemulihan kesehatan badan saya sih, khususnya buat ningkatin trombosit.
Kini, saya sudah pulih kembali. Siap untuk berkarya lagi. Untuk teman-teman, tetap jaga kesehatan dan jangan lengah ketika didera kesibukan ya. 🙂