Manusia Maha Perencana, tapi tetap kalah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Niatnya pas lagi di Jogja mau mendaki Merbabu buat merayakan ulang tahun, eh nggak tahunya lutut sedang cidera dan butuh rehat cukup lama dari aktivitas berat minimal sebulan lah. Akhirnya muncul ide buat roadtrip –naik motor– sekalian pulang.
“Aku besok kayaknya balik ke Jawa Timur.” Ucap saya pada Ijul.
“Serius besok, Kay? Nggak ada cita-cita buat mundurin jadwal pulang? Kita mau kasih kejutan lho kalau kamu pulangnya diundur?” bujuk Ijul.
“Enggak ah, Jul. Mau balik besok aja tapi mau roadtrip mampir Semarang dan transit Solo.”
Rencananya mau pulang tanggal 31 Oktober kemarin, kenyataannya….
Meskipun manusia Maha Perencana, tapi tetap kalah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Realitanya pergi dari kosan tanggal 27 Oktober malam, rada sedih sih meninggalkan rumah kedua saya di Yogyakarta. Artinya saya berpisah dengan teman-teman di Yogyakarta, khususya teman kosan yang beberapa hari terakhir menemani saya pagi, siang dan malam. Lalu ada tante Esthy dan Om Awang, pemilik kosan yang super duper baik.
Berat pasti meninggalkan Yogyakarta dan segala macam isinya, lumayan sudah tinggal lama di sana cuy, baru sekitar 3 tahun sih tapi wes cukup banyak mengantongi segala macam kenangan baik suka duka selama di sana. Sepanjang jalan rada sendu gimana gitu, untung ada kopi Bonbon buatan Kopi Yuk yang menemani perjalanan panjang saya menuju Semarang.
Setelah menahan pantat pegal sekitar 3 jam, saya tiba juga di Semarang. Beruntung sekali saya punya teman yang tinggal dan bekerja di Semarang, jadi saya bisa menumpang barang satu dua malam dengan grates. Terima kasih banyak ya, Mbak Tika. Semoga kamu membaca ini. Wqwq
Sebelumnya saya sudah mendaftarkan diri buat ikut walking tour yang diadakan SukariaWalk pada hari Minggu, 28 Oktober yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Rutenya pun dibikin spesial Sumpah Pemuda. Saya tuh sebenarnya ingin sekali ikut walking tour ini sejak lama, tapi keinginan saya baru terwujud tahun ini.
Enak lho ikut kegiatan seperti ini, kita bisa mengenal Semarang lebih dalam, menikmati bangunan yang nyimpen sejarah sembari jalan kaki dan diselingi haha-hihi. Bonusnya bisa bertemu dengan orang-orang baru dan siapa tahu ketemu jodoh ye kan. Pas hari H, saya dan Mbak Tika menuju titik kumpul walking tour hari itu di bekas Inna Dibya Puri Hotel.
Rutenya lumayan, dimulai dari hotel tadi lalu menyusuri trotoar dan berhenti sebentar di gedung yang dulu pernah ditempati Bank Indonesia. Perjalanan dilanjutkan ke tugu titik nol Kota Semarang, Jembatan Berak Berok, Kantor Pos Semarang, Alun-alun Semarang, Kampung Kauman dan masuk ke Kampung Kranggan di mana banyak sekali pengrajin kulit lumpia. Setelah itu balik lagi deh ke Inna Dibya Puri Hotel.
Dapat apa to setelah ikut walking tour itu? Dapat capek. Hahaha. Ikut walking tour itu bikin tahu oh di bangunan A dulu adalah bla bla bla dan ada kaitannya dengan peristiwa X, misalnya. Selain itu saya jadi tahu cara orang bikin kulit lumpia itu ternyata semi debus.
Setelah berpanas-panasan ria blusukan dari gang ke gang, saya berinisiatif buat ajak Mbak Tika mampir Toko Roti Oen yang lokasinya nggak jauh dengan titik kumpul tadi. Saya dan Mba Tika pesan tutti frutti yang merupakan salah satu menu andalan kedai ini. Untuk makanan ringannya saya pesan poffertjes dengan isian campur.
Sesungguhnya makan seporsi poffertjes berdua itu sudah bikin perut kenyang. Awalnya sih lahap ya, mungkin karena saya belum sarapan tapi lama-lama kok enek. Selera saya yang ndesit kali ya, jadi kurang cocok makan ini. Kalau es krimnya tiada meninggalkan kesan mendalam tuh. Saya juga bingung es krimnya kurang apa.
Setelah jajan kenyang di Toko Oen, saya mengajak Mbak Tika buat beli leker Paimo, itu lho leker yang terkenal di Semarang. Tapi kok dicari dari ujung gang ke ujung yang lain nggak ketemu. Yah, nasib belum berjodoh kita.
Mba Tika menawarkan buat mampir ke Taman Indonesia Kaya (yang dulunya Taman KB), Lawang Sewu atau lainnya. Tapi saya menolaknya karena perut sedang nyeri, entah maag atau gimana pokoknya kurang nyaman buat jalan-jalan malam. Akhirnya, kami hanya sempat makan di ayam Kalasan Simpang Lima. Saya pesan ayam rebus, iya beneran ayam direbus gitu terus dimakan sama nasi putih dan sambal bawang.
Enak, cuma karena saya sedang enggak fit dan ngaruh ke lidah jadi saya enggak terlalu menikmatinya. Sebelumnya kita malah mau mencoba sate buntel Pak Manto di angkringan Blenduk ternyata stoknya habis, enggak jadi deh. Sebelum pulang ke kos Mbak Tika, saya diajak ke gilo-gilo.
Apaan tuh? Saya juga baru tahu. Ternyata gilo-gilo ini adalah pedagang yang pakai gerobak gitu, jualannya macam-macam kayak potongan buah dan gorengan dan uniknya lagi cuma ada di Semarang deh kayaknya. Lucu ya, kalau di Yogyakarta ada angringan, di sini ada gilo-gilo andalan anak kosan. Lumayan kalau ingin makan buah dengan harga yang terjangkau.
Keesokan paginya, saya bergegas buat lanjutin perjalanan ke Solo. Jujur, ini baru pertama kalinya saya melewati jalur Semarang – Solo. Berarti ini pengalaman pertama saya juga ke Salatiga dan Boyolali, ya meskipun cuma numpang lewat. Sebenarnya saya ingin mampir beli soto seger khas Boyolali tapi sangsi mau parkir. Heuheu.
Yaudah deh, cuss langsung ke Solo. Saya sudah lapar banget, akhirnya memutuskan buat ke warung selat Mbak Lies sebelum check in ke Hotel. Warung ini salah satu kuliner andalan Surakarta lho. Warungnya unik, ya iya, banyak barang-barang antik mulai dari meja kursi dan hiasan dindingnya. Mentang-mentang dekat Pasar Triwindu kali ya (apa hubungannya? -,-). Hahaha.
Ohya, saya di sini pesan selat solo bistik dan segelas es jeruk. Nggak lupa camilannya saya nyobain sosis solo yang cuma ada di Surakarta dan sekitarnya. Sosis solo tuh berupa gulungan telur dan diisi daging cincang yang sudah ditumis dengan bumbu.
Di Solo, saya singgah di Front One Cabin Hotel, lokasinya nggak jauh dari Terminal Tirtonadi. Pesannya bisa di aplikasi pesan hotel apapun. Cocok sih kalau buat backpackeran, kamarnya ada yang disediakan buat 1 orang. Fasilitasnya juga cukup lengkap, ada AC, TV, kamar mandi dalam dan dapat snack box buat sarapan.
Enggak jauh dari hotel, ada warung nasi kikil Bu Cilik yang sempat masuk di channel yucub Ria SW. Saya sempat nyobain dan asli ini pedas banget cuy. Lauknya saya pilih tempe dan perkedel goreng, lalu minumnya air es. Total tagihannya cuma 15ribu. Murah atau mahal?
Sayangnya pas malam hari di hotel, migrain saya kambuh dan bikin mager kemana-mana. Padahal saya ingin banget kulineran Nasi Liwet dan Sate Buntel. Akhirnya, saya gofud. Btw, saya belum pernah lho makan sate buntel. Mbak Tika cuma kasih kisi-kisi rasa dan bentuknya. Sekarang saya punya kesempatan buat ngrasain langsung.
Serius, sate buntel enak. Saya enggak pesan di warungnya Pak Manto yang terkenal itu, saya pesan di warung yang enggak jauh dari Hotel, warung H. Kasdi kalau enggak salah. Selisih harganya lumayan men. Meskipun belinya dibungkus, tapi rasanya tetap enak. Harganya yo nggak mahal-mahal banget, 18ribu dapat 2 tusuk. Wedang kunirnya juga enak. Aseli.
Setelah sate buntel habis, saya pesan nasi liwet Yu Sani dan beruntung sekali lokasinya enggak jauh dari hotel. Dari aromanya harum banget nih.
Wah, rasanya sesuai ekspektasi. Isiannya ada nasi gurih mirip uduk gitu, suwir ayam yang di siram dengan areh, sayur lodeh dengan isian irisan labusiam (kalau enggak salah), sama ati rempela. Sedap mantap, Lur.
Saya iseng pesan ketan bubuknya juga, lumayan ganjel perut kalau masih lapar. Dan ketan bubuknya enaaaaak, apa ya teksturnya pas enggak keras juga enggak lembek dan enaaak. Meskipun dibungkus tapi ketannya hangat. Saya makannya agak malam, tapi teksturnya tetap lembut. Wah, enaknya parah. Aduh, perut saya auto kerucukan nih bayangin doang. Heu.
Ya sudah deh, saya kelarin dulu tulisannya sampai di sini karena setelah itu saya langsung pulang ke Blitar. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. 😀