Kabar gembira nih
Kalau sebelumnya saya terbiasa melewatkan Sabtu malam begitu saja dengan santai di kamar atau sendirian di antah barantah. Minggu ini agak berbeda karena kedatangan Aan. Dia adalah teman semasa kuliah yang sedang liburan singkat ke Yogyakarta. Saya pun mengajaknya mampir ke warung kopi yang baru saja beroperasi mulai 15 Juli 2018 lalu.
Sebenarnya saya ini bukan anak kafe maupun foodie yang enteng sekali menjawab pertanyaan,
“Enaknya makan apa dan di mana nih?”
Saya kismin referensi soal tempat makan enak dan nyaman di Yogyakarta. Pokoknya saya masih kesulitan menemukan jawaban kalau ditanya demikian. Sebenarnya gara-gara Instagram saya tahu ada warung kopi baru di Jalan Kapten Hariyadi. Namanya Warung Mojok Jogja, disingkat Warmo.
Warung Mojok Jogja ini lokasinya enggak di pojokan banget kayak namanya. Setelah saya baca beberapa post yang diunggah pada akun instagram @warmo_jogja ternyata warung ini ada kaitannya dengan Angkringan Mojok yang sempat tutup beberapa bulan lalu. Warung ini hadir dengan konsep baru yang telah dipertimbangkan dengan matang. Mungkin warung ini tercipta juga untuk menambal kerinduan menyeduh kopi bikinan Kedai Minum Kopi.
Yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Benar juga kata Banda Neira, Angkringan Mojok boleh saja tutup dan bila semesta mendukung pasti ada gantinya yang mungkin lebih asyik. Seperti kamu yang baru saja diputus pas sayang-sayangnya, siapa tahu setelah merana sekian purnama akan dipertemukan dengan orang yang benar-benar tepat untuk kamu. Amin!
Warung Mojok Jogja ini di kepung sawah dan sungai. Karena saya dan Aan tiba di sana malam hari jadi yang berhasil tertangkap mata hanya geng bunga matahari. Mungkin saya harus kesini sore hari jadi bisa menikmati hamparan sawah yang ada di belakang warung.
Duduk di area luar warung itu sangat menantang karena Jogja sedang dingin-dinginnya. Kalau kelamaan kena semribit angin malam bisa meriang juga nih. 😀
“Mba, kalau mau pakai wifi bisa pakai Warmo Jogja ya..” ujar mas-mas yang mencatat pesanan kami.
Apa wajah saya terlihat seperti fakir kuota? Hahaha. Baiklah kalau memaksa. Saya dan Aan dengan senang hati menggunakan koneksi internet gratisnya. Saya memesan nasi gongso ayam karena katanya menu ini yang paling sering dipesan. Untuk minum, pilihan saya jatuh ke local tea.
Pilihan menunya banyak kan? Kalau Aan memesan kentang goreng dan Lychee Tea. Di warung ini juga tersedia banyak pilihan kopi. Kamu bisa mencicipinya sendiri suatu hari nanti. Karena saya lebih tertarik dengan teh. :p
Cerita kehidupan asmara dan tentang bagaimana menerima diri sendiri adalah topik hangat yang menyelamatkan kami dari dinginnya malam di Jogja. Apalagi kalau sudah merambat ke cerita masa lalu dengan mantan kekasih sebelumnya, beuh dada ini langsung hangat. Rasanya sudah enggak perlu pakai jaket atau dekat-dekat dengan perapian.
Sayang sekali ya cahayanya kurang bagus, jadi fotonya agak gelap. Isi dari gongso ayam ini ada potongan ayam, kubis, irisan tomat yang ditumis dengan bumbu bawang, cabai rawit, laos dan dan daun salam. Lidah saya cukup menikmati menu ini. Apalagi dimakan dengan nasi putih yang masih hangat. Ditambah dengan taburan bawang goreng di atas nasi putih dan gongso ayamnya.
Mungkin lain kali saat pesan nasi gongso ayam ini saya akan meminta level pedasnya dinaikkan supaya rasa manis tidak terlalu mendominasi. Saya cukup terkejut dengan local tea Warung Mojok Jogja ini. Saya sudah curiga dengan aromanya sejak pertama kali teh mendarat di meja.
Kecurigaan saya semakin menguat ketika menyeruputnya. Wah, ini berbeda dengan teh-teh yang pernah saya seduh.
“Mas, local tea yang saya pesan kok beda ya rasanya?” tanya saya penasaran.
“Iya memang beda, Mba. Soalnya dicampur dengan rempah, ada kayu manis, cengkeh, bunga lawang. Hehehe.”
Oh, pantas saja. Aromanya harum dan rasanya mirip dengan wedang uwuh. Bayangan saya sebelumnya local tea adalah teh tubruk yang menggunakan teh lokal semacam teh tjatut atau 2 tang atau lainnya. Wah, Warmo memang penuh dengan kejutan.
Saya menyempatkan untuk mencicipi kentang goreng punya Aan, kematangannya pas. Tidak terlalu kering juga tidak terlalu berminyak. Kentangnya lembut, sayangnya rasa bumbu kurang kuat. Pengelola warung pun tak segan untuk meminta pendapat kami tentang menu yang dipesan. Luar biasa!
Kali kedua kesana, saya masih setia dengan local tea. Untuk makanannya saya memilih nasi goreng. Kalau dari segi rasa tidak mengecewakan hanya saja goreng nasinya agak kebanyakan minyak nih. Tapi lumayan lah menemani kesendirian saya malam itu untuk bersiap menghadapi Senin.
Warung ini tidak terlalu ramai, masih kondusif sebagai tempat untuk membaca buku atau mengerjakan lain. Karena tersedia fasilitas seperti koneksi internet gratis, stopkontak, dan tempat lesehan yang dilengkapi dengan bantal –yang bisa dipeluk. Hanya dinginnya malam hari yang jadi tantangan saya kalau main kesini.
Lain kali kalau kesini saya akan coba wedang jahe gula merahnya dan kudapan renyah lain seperti tempe mendoan, tahu cocol dan lainnya. Ih, gila. Menulis menunya saja saya jadi terbayang hangat dan gurihnya mendoan masuk ke rongga mulut. Gorengan itu sungguh nikmat tetapi jahat. 😀
Ketika saya sibuk membolak-balik halaman buku menu, Aan spontan tertawa dan menunjukkan sebuah kalimat yang ada di bagian belakang sampul buku menu.
“(Warung Mojok Jogja) Ada untuk menambah kesedihan Anda.”
Rating :
Aksesibilitas — ♥♥♥♥♥♥♥♥ (8/10)
Harga — ♥♥♥♥♥♥♥♥ (8/10)
Kebersihan — ♥♥♥♥♥♥♥♥♥ (9/10)
Rasa — ♥♥♥♥♥♥♥♥ (8/10)
Suasana — ♥♥♥♥♥♥♥♥ (9/10)
Pelayanan — ♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥ (10/10)
Skor : 8,6/10
“Disclaimer : Tulisan ini semata-mata untuk berbagi informasi dengan pembaca. Untuk penilaiannya subyektif berdasarkan sudut pandang penulis. 🙂 “
Kiki & Aan, serasa membaca dua nama laki-laki :3
padahal keduanya cewek semua :))
Gegara postingan ini aku nyobain teh warmo ini :))
wqwq.. gimana rasanya, mas? :p
suka ndak?