Close
Teman Baik Tidak Pergi, Dia akan Menetap di Hati

Teman Baik Tidak Pergi, Dia akan Menetap di Hati

Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman saya, Andrie Hertanti.

Blitar, 5 Januari 2020

Ada yang bilang seiring bertambah tua, circle pertemanan pun menyusut. Mungkin ada benarnya, namun bagi saya itu semua tergantung orangnya.

Hidup itu dinamis sekali. Sekarang teman, besok belum tentu. Dulu adalah musuh, sekarang bisa jadi sahabatan. Penuh kejutan kan? Tentu, seiring berjalannya waktu saya bertemu dengan orang-orang baru. Teman pun juga silih datang dan pergi. Tetapi tetap ada beberapa yang tinggal dan masih berhubungan baik hingga sekarang. 😀

Kebetulan sekali saya adalah tipe anak yang temannya itu-itu saja. Teman dekat saya sedikit. Eh, siapa juga yang tanya? Fyi aja sih. 

Andrie Hertanti atau yang biasa saya panggil Cece atau Aan, dia adalah salah satu teman baik saya sejak kuliah. Kami dekat gara-gara sering jalan-jalan bareng. Mulai dari liburan ke rumah saya bareng teman-teman yang lain, backpacking ke Bali, ke Singapura dan Malaysia, dan ke Yogyakarta.

Dia bukan hanya teman jalan-jalan saya, tetapi partner saat masih rajin mengikuti dari event satu ke event lain sebagai tenant di area Surabaya dan Malang. Kami biasanya sharing booth. Lumayan menghemat biaya. Berawal dari situ, saya jadi akrab dengan keluarganya.

Papa dan Mamanya selalu ingat tentang saya (puede!). Lho iya, betulan. Saya diingat oleh mereka karena saya nekat naik motor untuk ke Malang dari Blitar–ditambah kehujanan dan sendirian pula. Mungkin mereka iba dengan saya dan semenjak itu nama saya melekat di ingatan mereka. Selepas pindah dari Surabaya dan tiap kali main kesana, Papa Mama Aan tak segan buat menawarkan rumah mereka sebagai tempat singgah. Pokoknya super baik.

Sebenarnya sebelum masa-masa itu, saya juga sudah sering bertemu mereka karena sering nebeng ke Bandara kalau ada jadwal main bareng Aan. Banyak sekali cerita seru ketika jalan-jalan dengan Aan. Nah, saya akan menceritakan dengan singkat perjalanan yang paling berkesan dengan Aan, sekaligus ingin nostalgia nih. :3

Saya nggak akan lupa tentang perjalanan kami ke Singapura untuk kedua kalinya. Kami berangkat dari Surabaya hanya berdua. Demi ongkos perjalanan yang lebih irit, kami sebelumnya membeli tiket promo AirAsia yang termurah. Saat itu tarif termurah berangkat dari Bandara Husein Sastranegara Bandung. Jadi dari Surabaya, kami naik Sriwijaya –kalau enggak salah– ke Bandung. Lalu transit semalam dan tidur di ruang tunggu Bandara.

Bandung yang dingin, ditambah duduk di bangku stainless jadi menambah hawa yang dingin itu semakin dingin. Saya benar-benar nggak bisa tidur saat itu. Tiba di sana sekitar pukul 8 malam ya kalau enggak salah, terus penerbangan berikutnya sekitar jam 5 pagi. Saya gelisah banget sepanjang malam karena situasinya sepi banget dan yang menginap cuma saya dan Aan. Ngeriiii… 🙁

Rute pulangnya dari Singapura pun kurang lebih sama, kami tiba di Bandung lalu dijemput teman Aan buat ke Stasiun Bandung. Kemudian naik kereta Argo Parahyangan menuju Gambir. Nah, dari Gambir transit naik bus DAMRI ke Bandara Soetta. Wew, panjang amat ya? Kalau dipikir-pikir kok kedawan lakon (panjang dan ribet). Saya dan Aan selalu ngakak kalau ingat itu. Kebodohan yang dipupuk. Mending beli tiket Surabaya-Singapura PP kan, mungkin harga hampir sama tetapi nggak memakan waktu dan energi lebih banyak.

Cerita selanjutnya di balik perjalanan ini yang nggak kalah menggelikan, saya dengan terpaksa menjual kucing peliharaan satu-satunya demi tambahan uang saku. Sungguh, saya jahat. Pasti kalau Ciki –kucing peliharaan saya– kala itu bisa ngomong, dia akan misuh 3 hari 3 malam. Ampuni saya ya! 

Main ke Singapura harus menyiapkan mental dan kantong super tebal. Dulu 1 SGD masih sekitar 7ribuan, sekarang sudah 10ribuan. Lumayan terasa jumlah pengeluarannya. Apalagi saya dan Aan menganggarkan dana khusus supaya bisa main ke Universal Studio Singapore yang tiket masuknya kala itu setengah juta rupiah sendiri.

Untuk penginapan, saya dan Aan punya daftar hostel langganan (cie, langganan. Berasa sering banget pergi kesana). Saya masih ingat, saat itu kami menginap di ABC Hostel Backpacker dengan tarif kurang lebih 17$ per malam, malah sempat kena diskon karena sedang promo. Saya lupa rincian harganya.

Enek rego, enek rupo. Saking murahnya tarif penginapan, kami kebagian kamar yang bikin istighfar begitu tiba. Hahaha. Ya gimana nggak sambat, kami sekamar dengan beberapa yang sepertinya ngekos di kamar itu dan berbulan-bulan nggak pulang. Sepertinya mereka bukan turis atau wisatawan seperti kami, karena perginya rutin tiap jam kerja dan berpakaian rapi.

Apakah kamarnya nyaman? Oh tentu tidak. Bagaimanapun, mau nggak mau harus dibetah-betahin. Sudah terlanjur booking di situ, sayang banget kalau refund. Hostel lain belum tentu ada yang semurah itu. Apa aja sih yang nggak bikin nyaman? Kamarnya tipe sharing dorm gitu jadi ya harus jaga privasi yang lainnya. Di kamar kalau ngobrol seringnya bisik-bisik dan kalau jalan suka mengendap-endap. Bonusnya, teman sekamar ada yang mendengkur keras banget. Nak dek!

Untuk urusan makan, saya dan Aan bawa bekal mie gelas yang cukup banyak disesuaikan durasi perjalanan. Pihak hostel sudah menyediakan sarapan gratis berupa roti tawar, selai, dan susu. Namun sebagai orang Indonesia, sarapan 1 potong roti panggang belum cukup mengenyangkan. Hehehe. Jadi kami seduh mie gelas, kalau masih lapar ya tinggal seduh sereal instan. Malah kami bawa taperwer dari Indonesia, khusus buat ‘nyolong‘ jatah sarapan biar bisa kami santap saat makan siang. Biaya makan di sana mahal, gesss.

Namun banyak sekali hal seru yang saya lakukan bersama Aan di sana. Mulai dari seharian di USS dan jelajah lokasi wisata anti-maintsream di Singapura. Kenapa anti-mainstream? Karena jarang sekali wisatawan dari Indonesia yang tahu tempat-tempat itu. Jadi di sana yang kami temui adalah warga lokal yang sedang jogging, meditasi, bermain dengan keluarga, dan pelajar yang berdiskusi. Misalnya, Marina Barrage dan Handerson Waves.

Kalau boleh bilang sesuatu untuk disampaikan ke Aan, saya akan langsung bilang terima kasih sebanyak-banyaknya karena saya adalah anak yang pemalas bikin itienerary perjalanan. Jadi semua saya pasrahin ke Aan, saya manut-manut saja. Saat itu dia bikin itienerary rapiiii dan detail banget. Bukan cuma jam sekian sampai sekian kesini lalu kesana, tetapi juga dilengkapi dengan rute transportasi umumnya. Kami full memanfaatkan MRT dan bus, jadi cukup hemat. Lagian kondisi transportasi umum di sana juga sangat bangus.

Perjalanan ini terjadi pada tahun 2013, tepatnya pertengahan bulan Juli. Cukup lama kan? Tapi pengalaman jalan-jalan dengan Aan nggak akan mudah terlupakan. Wah, berarti saya berteman dengan Aan sudah lebih dari 8 tahun. Hubungan pertemanan kami jelas ada pasang surutnya, apalagi kami juga sibuk dengan hidup masing-masing. Ditambah saya dan dia sudah tidak sekota sejak tahun 2014.

Saya dan Aan adalah tipe pertemanan yang tidak selalu ngobrol setiap saat, tetapi syukurlah masih bisa menjaga pertemanan hingga saat ini. Kami mungkin jarang bercerita lewat chat, nunggu bertemu dulu baru bisa saling curhat. Ditambah dia anaknya yang rada susah mengingat jadi saya kadang perlu mengulang cerita lagi dan lagi. Hadeeeh…

Beberapa hari lagi, Aan akan dipersunting lelaki yang ia sayangi. Saya sebagai seorang teman ikut berbahagia, ya meskipun ada rasa nyesek karena teman yang bujangan semakin berkurang. hiks. Tetapi itu hanya 1% dari rasa bahagianya kok. Hehehe. 

Doa saya untuk Aan mungkin seperti orang kebanyakan, saya berharap upacara pernikahannya nanti diberikan kelancaran dan kedepannya ia diberkahi nikmat dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Asik. Amin.

Saya yakin, pertemanan yang sehat akan awet. Teman yang baik tidak akan pergi, ia akan menetap di hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *